Nyi KRT Hamong Tedjonegoro, Tekun Menjaga Tradisi

Nyi KRT Hamong Tedjonegoro
 
Keraton Yogyakarta sebagai pusat tradisi, administrasi, sekaligus kediaman Sultan memerlukan pengelolaan rumah tangga yang tidak sederhana. Setiap kegiatan, baik kegiatan sehari-hari maupun upacara yang bersifat ritual memiliki aturan yang tak boleh diabaikan. Setiap hal mulai dari sesajen hingga penyajian makanan dan minuman sehari-hari harus dilakukan dengan tata cara yang tepat.
 
 
Nyi Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hamong Tedjonegoro, atau lebih akrab disapa Bu Kanjeng, adalah salah satu figur penting di balik kelangsungan tradisi tersebut. Ia adalah Pengageng Kalih Keparak Para Gusti, semacam kepala bagian rumah tangga tertinggi di keraton yang berada di bawah Kawedanan Keputren (urusan keputrian) yang dikepalai langsung oleh Gusti Kangjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, putri tertua Sultan.
 
 
Salah satu tanggung jawab terbesar Bu Kanjeng adalah penyediaan sesajenSesajen merupakan simbol sesembahan kepada yang Maha Kuasa berupa makanan, bunga-bungaan, dan uba rampe lainnya. Ritual Jawa tak lepas dari sesajen dan masing-masing ritual mensyaratkan jenis sesajen yang berbeda. Oleh karenanya, penyajian sesajen membutuhkan pengetahuan khusus.
 
 
“Meski bukan saya yang menyiapkan, saya bertanggung jawab untuk meneliti sesajen, misalnya bila Sultan melaksanakan Hajad Dalem Mantu (menikahkan anak), Jamasan Pusaka, atau Sugengan,” tutur perempuan yang masih cekatan pada usianya yang ke-75 ini.
 

Pelestari Sesajen

Sri Siswati, demikian nama lahir Bu Kanjeng, memang memiliki darah bangsawan dalam dirinya. Ia keturunan Raden Patah dari kerajaan Demak. Suaminya, RM. Puntadewa, yang juga Abdi Dalem keraton, merupakan cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Wajar bila adat istiadat keraton tidak asing baginya.
 
 
“Tahun 2001, saya dipanggil langsung oleh Kanjeng Ratu Hemas untuk mengurus Abdi Dalem Keparak.” Ia mengenang. Waktu itu, lanjutnya, Kanjeng Ratu menjabat sebagai anggota DPR RI dan harus bertolak ke Jakarta, sementara putri tertuanya belum menikah.
 
 
Ia menuturkan pernikahan putri tertua Sultan pada tahun 2002 menjadi semacam ujian baginya. “Saya menangani semua (ritualnya), mulai dari Siraman hingga sajen-sajen. Perkara air untuk mencuci kaki pun saya tangani. Padahal sebelumnya saya belum pernah melayani Putra Dalem. Namun, berkah Dalem, semuanya lancar,” tuturnya. Tugas pokoknya saat itu adalah penyajian sajen.
 
 
Bu Kanjeng belajar mengenai sesajen dari catatan-catatan pendahulunya. Catatan-catatan yang masih berupa tulisan tangan tersebut kemudian diketik olehnya. Termasuk di dalamnya adalah catatan mengenai jampi-jampi (jejamuan) yang tentu saja merupakan khazanah tersendiri.

Keparak Para Gusti

Tepas Keparak Para Gusti beranggotakan sekitar 50 Abdi Dalem perempuan dengan beragam tugas. Ada bagian Sedahan yang khusus menyiapkan sesajen, termasuk sesajen yang disiapkan menjelang Selasa Kliwon dan setiap malam Jumat . Sesajen ini diletakkan di beberapa tempat tertentu dalam kompleks keraton yang luas.
 
Mengedarkan sesajen adalah tugas Abdi Dalem Dak Njawi yang juga bertanggung jawab atas kebersihan kompleks keraton. Ada pula bagian Sembagan yang bertugas meronce kembang dan bagian Pasareyan (merupakan bagian di dalam Gedhong Prabayeksa yang terdapat seperangkat peraduan atau pasareyan) yang bertanggung jawab menyalakan pelita minyak setiap sore dan menjaganya agar tak padam hingga pagi menjelang.
 
 
Tugas-tugas yang diemban oleh Bu Kanjeng tidak sesederhana kelihatannya karena setiap upacara memiliki ketentuan khusus yang harus dipenuhi. Misalnya, apabila Sultan siniwaka (duduk di atas takhta) ada empat Abdi Dalem yang membawa ampilan, yaitu benda-benda upacara berupa wadah rokokwadah kapur sirih, dan kecohan. Bu Kanjenglah yang menunjuk Abdi Dalem yang mengemban tugas tersebut.
 
 
Semangat melayani sesama memang mendarah daging dalam diri Bu Kanjeng. Ia bertugas di keraton empat hari dalam seminggu, dari Senin hingga Kamis. Di luar itu, ia mengaku tanggung jawab terbesarnya adalah menjadi ketua RT.
 
 
“Saya ketua RT paling tua di Kotamadya Yogyakarta, sampai-sampai saya dapat hadiah dari Walikota,” tuturnya sambil tertawa. “Syukurlah saya bisa melayani berbagai macam orang. Yang tidak rukun pun, bisa saya rukunkan. Yang penting kita jalani dengan kepala dingin.”
 
 
Kepala dingin dan tangan dingin inilah yang membuat Bu Kanjeng senantiasa tekun, teliti, dan ikhlas menjalani tugasnya menjaga tradisi.