Mas Penewu Resa Sumitro, Kesetiaan dalam Racikan Teh

Tradisi menyajikan teh serta kopi setiap pagi dan siang di Keraton Yogyakarta telah berlangsung semenjak masa-masa awal kerajaan ini berdiri. Tradisi tersebut tersebut berakar dari kebiasaan sultan-sultan terdahulu untuk menikmati minuman pada waktu sarapan dan makan siang. Namun, seiring perubahan zaman, ketika sultan tidak selalu berada di keraton, terutama mulai era Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988), semua itu telah mengalami perubahan. Kini, ritual harian tersebut lebih bersifat seremonial untuk menjaga tradisi. Meski mengalami beberapa perubahan, tata cara penyajian tetap terjaga hingga detailnya.  

Sekelompok Abdi Dalem Patehan bertanggung jawab menyajikan minuman harian tersebut. Mereka biasa disebut “patehan”. Sebutan tersebut berasal dari kata “teh” yang menunjukkan tugas pokok mereka. 

Mas Penewu Resa Sumitro menjadi Abdi Dalem Patehan sejak 1999. Lebih dari dua dekade mengabdi, semangat serta kesetiaannya pada tugas tak pernah surut, bahkan makin dalam. Tahun 2005, MP Resa Sumitro diangkat menjadi pengirid –pemimpin kelompok— patehan, menggantikan pengirid sebelumnya yang meninggal dunia. Sejak itulah, ia mengkoordinasi rekan-rekannya untuk nguri-uri ritual tersebut. 

Kesempurnaan dalam tiap Tahap

MP Resa Sumitro lahir pada tahun 1955 dan diberi nama Sarjono. Ayahnya adalah Abdi Dalem (penjaga Regol) Tamanan. Sewaktu muda Sarjono senang mengikuti sang ayah bekerja. Perlahan, timbullah kecintaannya pada keraton diikuti kehendak untuk turut menjadi Abdi Dalem. 

Tahun 1999, ia didaftarkan oleh sang ayah untuk menjadi Abdi Dalem Regol Tamanan. Setelah diterima, ia menjalani sowan bekti di sana. Tak lama kemudian, ia berkeinginan bertugas di Gedhong Patehan. Ia mengajukan diri dan sejak itu hingga sekarang, ia terus menjadi Abdi Dalem Patehan. Enam hari dalam seminggu, ia hadir di keraton untuk memastikan minuman yang dipersembahkan sebagai bentuk sesaji ini terhidang sempurna. 

Setiap hari jam 06.00 WIB dan jam 11.00 WIB, teh, kopi, air putih, sudah siap di dalam perangkat minumnya dan ditata untuk kemudian diambil oleh lima orang Abdi Dalem Keparak. Salah seorang dari mereka akan mencicipi untuk memastikan minuman tersebut aman sebelum disajikan. Ini merupakan peninggalan kebiasaan lama untuk menjaga keselamatan raja. Kemudian mereka akan beriringan membawa dua rampadan (set/perangkat) minuman tersebut menuju Gedhong Prabayeksa, menyajikannya di sana, sambil melorod (mengambil) rampadan yang telah disajikan sebelumnya. 

Seluruh proses penyiapan minuman dilakukan sesuai aturan. Air untuk membuat minuman ditimba khusus dari sumur yang ada di kompleks Gedhong Patehan, yaitu sumur Nyai Jalatunda. Satu sumur lain yang ada sana, Kiai Jalatunda, dikhususkan untuk keperluan mencuci. 

“Tiap hari, jam empat (pagi) mulai nggramani (merebus) sampai air mendidih. Jam lima (minuman) dibuat, jam enam diambil oleh Kanca Keparak. Jam tujuh sampai jam delapan nggramani lagi untuk yang pukul sebelas,” tutur MP Resa Sumitro saat menjalani rutinitas Abdi Dalem Patehan. Ia sendiri datang jam tujuh pagi dan pulang jam dua siang setiap hari, kecuali hari Jumat. Abdi Dalem Patehan lain bekerja bergiliran dengan durasi 24 jam sekali bertugas, satu minggu sekali. Filosofi sepi ing pamrih, rame ing gawe, menurut MP Resa Sumitro membuat para Abdi Dalem Patehan nyawiji (bersatu). 

Manungsa Juni 001

Teh untuk Hajad Dalem

Selain menyiapkan rampadan harian, Abdi Dalem Patehan juga bertugas menyediakan teh untuk keluarga sultan, tamu, serta Abdi Dalem lain yang terlibat dalam Hajad Dalem tahunan atau jamuan lain.  

“Umpamanya saat prosesi jamasan pusaka, tujuh hari berturut-turut (Abdi Dalem Patehan) membuatkan teh untuk Abdi Dalem sipat Bupati yang terlibat dalam hajatan (upacara) itu. Setelah itu, Garebeg Mulud, kami bersama-sama membuat teh di Masjid Gedhe. Dari sini (dibawa) ke Masjid Gedhe. Airnya dari sini (kompleks Gedhong Patehan). Di sana pukul delapan (malam) ada pengajian. Ngarsa Dalem akan menyebar udhik-udhik. Setelah pengajian, minuman dibuat, dituangkan di cangkir-cangkir itu lalu dibawa ke serambi masjid,” terangnya. 

Hajad Dalem lainnya adalah Garebeg Besar (Iduladha) dan Ngapem untuk Tingalan Jumenengan Dalem serta Labuhan. “Patehan itu ngayahi semua minuman yang diperlukan,” lanjutnya.  

Memiliki tugas penting dalam berbagai Hajad Dalem, membuat MP Resa Sumitro harus mempersiapkannya dengan serius.  “Kalau mau hajatan, pikiran sudah memikirkan apa yang akan diayahi besok. Sudah siap-siap supaya lancar bagaimana. Mengatur teman-teman, besok kamu ini, kamu ini.” 

Namun, kadang ada saja yang kurang meski semua sudah disiapkan dengan baik. “Umpamanya (saat) ayahan Garebeg, semua alat-alat sudah disiapkan semua, sudah ditata, sudah dihitung, sudah genap semua, nanti di sana itu bisa kurang. Saya nyuruh teman-teman sambil deg-degan. (Acara) sudah mulai, tapi (peralatan tambahan) belum datang.”  

Berdasarkan pengalaman itu, Kanca Patehan kini menyiapkan perkakas lebih. Selain itu, biasanya lima hari sebelum pelaksanaan, semua peralatan sudah disiapkan, ditata, dibersihkan, dan disusun. Penugasan personel juga sudah diatur. 

Sisi menyenangkan dari Hajad Dalem bagi MP Resa Sumitro adalah ia dapat membawa keluarga untuk menyaksikan prosesi. “Saya bisa mengajak keluarga, duduk di Pagelaran. Di situ ada kursi. Nikmatnya di situ.”

Berkah Ketenteraman

MP Resa Sumitro menjalankan semua tugasnya dengan gembira. Wajahnya senantiasa ramah dan saat bercakap pun ia sering tertawa kecil. Menurutnya, kedudukan Abdi Dalem memiliki unsur kesakralan dan membawa ketenteraman. 

“Jadi Abdi Dalem itu ayem. Terus angan-angan bisa tercapai.” Ia meyakini kebahagiaan keluarga serta kelancaran usahanya didapat antara lain berkat pengabdiannya di keraton. 

Sebaliknya, ia pun mendapat dukungan penuh dari keluarga untuk berkarya di keraton. “Istri saya lebih suka kalau saya di keraton karena di sini ada ritual-ritual, ada kebatinan, sama sejarah.” 

Setiap malam, MP Resa Sumitro berjualan masakan mie di selatan Masjid Agung Bantul. Ia mengikuti jejak ayahnya yang memiliki usaha serupa. Awalnya ia berjualan menggunakan pikulan, lalu membuka stan di Pasar Malam Sekaten, dan akhirnya membangun warung tetap yang lama kelamaan memiliki banyak pelanggan. 

“Sampai sekarang lancar sukses. Saya anak dua, putri semua, cucu sudah lima. Berkahnya di sini. Ayem,” tuturnya. 

Ia membandingkan kondisinya sebelum dan sesudah menjadi Abdi Dalem, “Dulu itu saya belum di keraton, angan-angan saya itu nggak semeleh. Kepengin jalan-jalan di mana-mana. Sesudah di keraton, saya jadi seperti orang tua, mau di rumah saja. Sama-sama keluarga. Gimana ya, mendoakan anak-anak bisa lancar semua. Sampai sekarang putu (cucu) saya yang satu sudah bekerja. Anak-anak dalam belajar juga sukses,” katanya. 

Bekerja sebagai Abdi Dalem, ia dituakan di kampung. Lebih dari empat puluh tahun ia dipercaya sebagai ketua RT dan ketua RW. “Saya terharu sama bersyukur sama Gusti Allah, sama keraton. Bisa sempulur, sama keluarga, sama kampung, sama masyarakat. Itu sampai pada (peringatan) hari jadi Kabupaten Bantul, oleh kelurahan saya disuruh bawa tombak peninggalan Bupati Bantul yang pertama.” 

Di lingkungan tempat tinggalnya, MP Resa Sumitro sering menjadi tempat bertanya, terutama terkait tata cara upacara tradisional. Ia juga aktif mendorong warga untuk produktif, misalnya dengan memproduksi camilan dari ketela. 

“Saya terima kasih sekali, bersyukur sekali sama Ngarsa Dalem, saya bisa lancar semua (karena) mengabdi di sini, mengabdi kebudayaan, saya suka, keluarga saya suka sekali, kampung juga suka saya jadi sesepuh di kampung. Suka sekali pokoknya.” 

MP Resa Sumitro merupakan bukti bahwa ketulusan dalam menjalani tugas membawa kebahagiaan tiada terkira.