Keraton Yogyakarta Ambil Bagian Dalam Mahadiwira, Pameran Keprajuritan dari Wangsa Mataram
- 08-08-2024
Jumat-Sabtu, 2 – 3 Agustus 2024, Gelaran Catur Sagotra kembali dihelat oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta di Museum Benteng Vredeburg. Mengusung tema keprajuritan, keempat praja dari trah/wangsa Mataram menawarkan suguhan memukau, baik dalam sajian pameran maupun seni pertunjukan. Keterlibatan empat Dinasti Mataram dalam pameran bersama tentu merupakan hal baru. Pasalnya, gelaran pameran baru pertama kali digelar dengan tujuan untuk mendukung narasi utuh terkait tema keprajuritan yang dipilih pada tahun ini.
Mengusung tema besar Mahadiwira: Prajasena Dinasti Mataram, pameran yang diikuti oleh Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman memberi tawaran apik serta bukti autentik tentang ketangguhan prajurit dari masing-masing keraton dan kadipaten. Di sisi lain, pameran tersebut menjadi wahana bagi para pengunjung untuk menilik kembali perjalanan panjang perubahan fungsi prajurit, yang semula sebagai armada militer kemudian beralih sebagai prajurit budaya.
“Catur Sagotra memilih tajuk Mahadiwira Prajasena: Dinasti Mataram. Pemilihan tajuk tersebut merujuk pada catatan historis dari kesatuan prajurit dari masing-masing Praja Mataram yang dikisahkan pilih tanding. Konsep ini diharapkan dapat menjadi upaya rekonstruksi memori kolektif yang diwujudkan melalui wahana pameran” jelas Dian Laksmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY.
Pada penyelenggaraan pameran bersama tersebut, Keraton Yogyakarta mengusung tajuk Adi-balakosa, Prajurit Keraton Yogyakarta. Adi-balakosa yang berarti prajurit yang unggul menjadi ide besar dalam menyampaikan sejarah panjang dari pertahanan militer Pangeran Mangkubumi. Merujuk pada sumber-sumber sejarah, keberadaan prajurit Keraton Yogyakarta tidak terlepas dari kronik perang Mangkubumen (1746) yang dilatarbelakangi atas kekecewaan terhadap pemerintahan pada saat itu. Resistasi kesatuan prajurit dari Pangeran Mangkubumi dalam berperang lantas berujung pada satu perjanjian pembagian kekuasaan, bernama Giyanti (1755). Pada babak pemerintahan di Yogyakarta, Kesatuan prajurit dari Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) masyhur sebagai armada militer yang pilih tanding. Pascapemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V dan akibat dari Perang Jawa, kesatuan prajurit keraton beralih fungsi sebagai bagian dari seremoni upacara kenegaraan maupun upacara adat. Keterangan tersebut diperkuat dengan adanya revitalisasi kesatuan prajurit pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1970, setelah sebelumnya dibubarkan saat pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada gelaran pameran ini, Keraton Yogyakarta menyajikan narasi tentang kepiawaian prajurit keraton dengan rujukan sumber visual. Menghadirkan tafsir visual dari perang Baratayudha dengan latar peristiwa di Alun-alun, fungsi prajurit sebagai armada militer diwujudkan dengan apik. Adapun tata busana manggalayudha ‘pimpinan prajurit’ dan prajurit Prawiratama serta Prajurit Langenastra menjadi representasi dari memori kolektif prajurit lintas masa dan peristiwa.