GKR Hayu dan KPH Notonegoro Mangayubagya Tingalan Wiyosan Jumenengan Mangkoenagoro X

Senin Legi (19/02) atau 8 Ruwah Jimawal 1957, GKR Hayu dan KPH Notonegoro bertolak menuju Surakarta Hadiningrat. Dalam balutan busana Besiyaran, Putri Dalem keempat dan menantu Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 tersebut mewakili Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menghadiri Mangayubagya Tingalan Wiyosan Jumenengan Dalem ke-2 Sampeyan Ingkang Jumeneng Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkoenagoro X.

Peringatan kenaikan takhta Adipati Mangkoenagoro X berlangsung di Pendapa Agung Puro Mangkunegaran, sekitar pukul 10.00 WIB. Diiringi dengan serangkaian Ampilan Dalem (regalia) dan iringan Ketawang Puspawarna, prosesi Tingalan Wiyosan Jumenengan dimulai saat Adipati Mangkoenagoro X Miyos dari Ndalem Ageng. Adipati Mangkoenagoro X kemudian menghaturkan penghormatan Sembah Karna kepada Sri Susuhunan Paku Buwono XIII, dilanjutkan menyapa para tamu undangan dari berbagai latar belakang, mulai dari perwakilan kerabat Kasunanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, duta kerajaan sahabat, dan beragam kolega. 

Prosesi ulang tahun kenaikan takhta Adipati Mangkoenagoro X dimaksud sebagai wujud syukur atas karunia Tuhan kepada Sang Adipati yang telah genap dua tahun memimpin dan mengelola Kadipaten Mangkunegaran sebagai salah satu pusat kebudayaan di tanah Jawa.

Mangayubagya 2

Selain itu, Adipati Mangkoenagoro X juga berkenan mewisuda Kerabat Dalem dan Abdi Dalem di lingkungan Puro Mangkunegaran serta memberikan penghargaan berupa gelar kekancingan kepada sejumlah figur yang dianggap berjasa dalam membantu kelangsungan kebudayaan di Puro Mangkunegaran, banyak diantaranya dari kalangan seniman, seperti Endah Laras, Eko Pece, Woro Mustika, dan Peni Candrarini. Kolaborasi antara Puro Mangkunegaran dengan para seniman diharapkan menguatkan kebudayaan dan mengangkat citra pariwisata di Kota Solo. 

GKR Hayu bersama KPH Notonegoro juga turut mengapresiasi perkembangan kebudayaan Puro Mangkunegaran Surakarta sejak dipimpin oleh Adipati Mangkoenagoro X. "Apa yang ada di dalam puro sama di dalam keraton harus lestari dulu. Istilahnya kita yang melestarikan dan mengembangkan, soal perkara minat masyarakat menurun atau apa, tapi yang di puro dan di keraton tetap lestari. Yang (generasi) muda pasti akan kembali mencari asalnya jati dirinya," ungkap GKR Hayu.

Mangayubagya 5

Sementara KPH Notonegoro juga menyampaikan, Abdi Dalem di Keraton Yogyakarta dan Puro Mangkunegaran banyak dari kalangan dosen dan seniman yang berasal dari instansi Institut Seni Indonesia.

"Jadi kolaborasi itu berjalan terus meskipun kita mempertahankan seni klasik, namun bisa dikemas sedemikian rupa, sehingga masih bisa diapresiasi generasi muda sekarang. Salah satu jalan untuk pelestarian dan mempertahankan seni ya kolaborasi itu," ujar KPH Notonegoro.

"Dan saya senang di sini tidak mandek (berhenti). Seperti di Keraton Yogyakarta ada penciptaan seni baru, (tarian) bedhaya baru itu kan terus berlangsung, meskipun melestarikan kita juga mengembangkan. Saya bahagia di sini ada bedhaya yang dihaturkan sebagai pisungsung," pungkas KPH Notonegoro.

Sebelum penganugerahkan gelar kekancingan, Kawedanan Panti Budaya Kemantren Langenpraja Mangkunegaran menampilkan tarian sakral yang selalu dipentaskan saat Jumenengan dan Tingalan Wiyosan Jumenengan, yakni Bedhaya Anglir Mendung. Tarian pusaka bersejarah ini dibawakan oleh 7 penari gadis dan menggambarkan suasana laga perang yang dihadapi oleh pendiri Kadipaten Mangkunegaran RM Said (Adipati Mangkoenagoro I) di Desa Kasatriyan, Ponorogo. Gumpalan awan yang bergelayut kala itu ditafsirkan sebagai awal mula penamaan Bedhaya Anglir Mendung.

Mangayubagya 1