Mas Bekel Joyo Nurcahyo, Penerus Kejayaan Bregada Dhaeng
- 26-03-2024
Bregada Dhaeng merupakan salah satu pasukan prajurit keraton yang dipertahankan hingga kini. Ketika Perjanjian Giyanti ditandatangani dan Pangeran Mangkubumi diakui sebagai raja yang berdaulat, ada dua kesatuan bregada yang anggotanya berasal dari Sulawesi Selatan ditetapkan sebagai prajurit Kasultanan Yogyakarta. Kedua kesatuan yang turut berjuang mendukung Pangeran Mangkubumi itu salah satunya dikenal sebagai Bregada Dhaeng.
Kata “Dhaeng” merupakan gelar kebangsawanan khas Sulawesi Selatan. Pada masa itu, setiap prajurit mendapat anugerah nama depan “Niti”. Dari masa ke masa, para anggotanya meluas dan tak lagi merupakan keturunan dari prajurit-prajurit asli Sulawesi tersebut.
Mas Bekel Joyo Nurcahyo merupakan salah satu anggota Bregada Dhaeng yang mengikuti jejak leluhurnya. Kakeknya bertugas di bagian ungel-ungelan (pemain musik) dalam korps prajurit tersebut. Kakek buyutnya, meski dengan status yang tak lagi dapat dilacak, juga pernah mengabdi di keraton. Pria bernama asli Nurcahyo Dian Purwandito itu pun menjadi penerus sejarah keluarganya. Apalagi ia, seperti para pendahulunya, masih tinggal di Kampung Dhaengan (kampung tempat tinggal prajurit Dhaeng).
Dian magang selama enam bulan untuk belajar aturan baris-berbaris. Setelahnya ia menjalani tes, dinyatakan lulus, lalu resmi diangkat sebagai prajurit pada 2016. “Tesnya hampir sama (dengan latihan magang), jalan, baris berbaris, kayak balik kanan, naik-turun tangga dari kaki mana dulu. Dulu tesnya pakai waos (tombak). Kalau pakai waos itu kan ada istilah mandehasto, manlawung, maniyung,” kisahnya.
Bergabungnya Dian ke korps keprajuritan sebenarnya berawal dari dorongan orang tua. Ayah ibunya mengharapkan ia menggantikan posisi kakeknya yang sudah pensiun. Awalnya ia enggan karena lebih senang bekerja. Namun, salah seorang temannya menawari untuk bergabung nyaris setiap tahun. “Pas terakhir 2013. Itu nawarin terakhir. Ini kesempatan, sayang (kalau tidak diambil). Tahu-tahu saya seperti ingin melanjutkan amanat Simbah karena saudara-saudara saya nggak ada yang meneruskan. Saya merasa sayang saja, masa Simbah tidak punya penerus. Jadi, ya panggilan juga, tapi (ada) artikulasi ke dorongan mental dari teman juga, karena simbah juga pernah ngayahi di prajurit, pensiun tahun 2000.”
Sejak mendaftar, ia berharap diterima di Bregada Dhaeng. Idamannya terkabul, “Alhamdulillah pada saat mulai magang sampai pembukaan nama, saya ikut Dhaeng.”
Pengabdian Meluas
Perjalanan hidup Dian dapat dikatakan berwarna. Sekolah Dasar ia tamatkan dalam tujuh tahun karena seringnya membolos. Namun, sewaktu SMP, ia mulai belajar serius karena ingin membuktikan diri pada orang tua. Walhasil, ia berhasil mendapat nilai akhir tinggi dan diterima di STM Jetis 2, Jurusan Sipil dan Bangunan. Namun, lagi-lagi studinya terkacaukan. Gejolak khas remaja membuatnya keluar dan pindah sekolah ke STM Marsudi Luhur. Ia memilih Jurusan Otomotif dan kembali berprestasi hingga berhasil mendapat bangku di D3 UNY Jurusan Otomotif reguler lewat jalur bakat daerah. “Sampai semester lima, lalu kerja. Keasyikan kerja, saya minta cuti sampai sekarang, nggak lulus,” kenangnya sambil tertawa ringan.
Setelah menjadi prajurit keraton, pada 2019, ia seperti mendapat panggilan untuk mengabdikan diri lebih jauh. “Kayak tiba-tiba tuh saya ingin, padahal saya tidak tahu menahu tentang budaya, tidak tahu adat keraton.” Bisikan hati itu mendorongnya mengajukan permohonan kepada Kawedanan Hageng Panitrapura melalui teman Abdi Dalem yang ia kenal. “Alhamdulillah pas kebetulan dibutuhkan.”
Ia ditugaskan di Reh Puraraksa (penjaga keamanan) sebagai lumaksana. Karena saat itu Reh Puraraksa memang kekurangan staf, Dian menerima pangkat mirunggan (khusus), yaitu langsung diwisuda menjadi jajar tanpa proses magang. Pangkatnya naik dengan relatif cepat dan kini ia sudah menjadi bekel anom.
“Tugas yang paling utama ngladosi semua kegiatan rapat yang ada di Tamanan,” jelasnya. Ia menyiapkan segala keperluan teknis, mulai dari meja kursi, tempat sampah, peralatan, hingga makanan serta minuman. Tugas lainnya adalah menyediakan alat tulis dan penunjang kebersihan yang dibutuhkan semua departemen di keraton.
Selain itu, seperti semua prajurit lain, Dian mendapat giliran tugas jaga keamanan setiap dua puluh hari sekali selama dua hari. Saat ini, ia mendapat tugas untuk berjaga di Kamandungan Kidul. Semua tugas punakawan dan keprajuritan dilakukannya secara beriringan tanpa masalah.
Jajar Waos
Di Bregada Dhaeng, Dian bertugas sebagai jajar waos (pembawa tombak). Ia pertama kali tampil di prosesi Gunungan Garebeg Sawal tahun 2016 dan setelahnya, tak pernah absen berpartisipasi dalam upacara Garebeg.
Agar dapat melaksanakan tugas dengan baik, para prajurit wajib berlatih satu atau dua kali seminggu. Selain harus mahir berbaris, kini mereka juga diharapkan menguasai keterampilan menyerupai prajurit pada masa lalu, yakni jemparing (panahan), pencak silat, tulup (sumpit), dan plintheng (katapel). Khusus untuk katapel, karena risikonya yang cukup tinggi, pelatihannya dihentikan. “Jadi (prajurit) juga punya talenta yang lain, bukan cuma ngayahi Hajad Dalem Garebeg,” Dian menjelaskan.
Masing-masing bregada memiliki jadwal latihan bergiliran dengan bregada lain. Untuk menambah semangat, sekali waktu diadakan lomba antar bregada. Setiap bregada diharapkan memiliki wakil untuk tiap-tiap bidang keterampilan.
Dian sudah pernah mencoba belajar semua keterampilan itu, tetapi paling menyukai baris-berbaris. “Dulu pernah mencoba jemparing, tapi ini (bagian atas pergelangan tangan kiri) pernah patah, jadi kurang maksimal.” Ia juga sempat mendalami keterampilan tulup, “Tapi kok hati saya ingin baris berbaris, ya baris-berbaris saja.”
Namun, sebagai cucu ungel-ungelan, minat terhadap musik juga tertancap kuat dalam dirinya. “Dulu Simbah itu (main) suling juga, tambur juga, bende juga. Saya mendaftar untuk posisi jajar, tapi hati saya tergugah juga, masa Simbah bisa nyuling, nambur, cucunya tidak bisa. Lalu saya mencoba belajar sedikit demi sedikit. Kalau semua diawali dengan niat, akhirnya sedikit-sedikit bisa. Ya nyuling, ya nambur, tapi fokus saya tetap ke jajar.”
Bregada Dhaeng dan Ketanggung memiliki instrumen musik paling lengkap. Ungel-ungelan-nya mencapai sembilan orang, sementara bregada lain rata-rata hanya memiliki empat atau lima. Tak heran, musik Bregada Dhaeng terdengar paling gebyar saat berbaris.
Selama mengabdi di keraton, hampir semua pengalaman terasa menyenangkan bagi Dian. “Diajak berfoto bareng (pengunjung) saja sudah senang,” katanya. Pernah seorang anak kecil mendekatinya saat kirab di Alun-Alun, lalu bertanya apakah boleh ia kelak menjadi prajurit Dhaeng. Boleh, demikian jawab Dian. Bertahun-tahun kemudian, seorang anak muda datang padanya dan mengajukan pertanyaan yang sama. Dian tersentak karena mendadak teringat bocah kecil yang bertanya padanya bertahun-tahun lalu. Ia tahu mereka adalah dua orang yang berbeda, tetapi kemiripan cara mereka menyampaikan keinginan untuk menjadi anggota Bregada Dhaeng membuatnya tersentuh.
Selain itu, Dian juga terkesan dengan prajurit yang sudah berusia lanjut. Bukan tugas ringan untuk berjalan berkilo-kilo meter dengan seragam dan membawa senjata, tetapi mereka mampu menjalaninya. “Kemauan mengalahkan kondisi fisik. Akhirnya (mereka bisa) melaksanakan tugas sampai selesai. Yang sepuh-sepuh saya akui memang hebat.”
Namun, pernah juga Dian mengalami peristiwa “memalukan” gara-gara demam panggung saat tampil di kompleks Bangsal Pagelaran, “Di dalam (Siti Hinggil) itu biasa, nggak masalah. Pada saat turun dari turun dari Siti Hinggil itu, turunnya salah, jalannya beda sendiri.” Seorang penonton spontan mengomentari gerakannya yang berbeda dari prajurit lain. Ia pun makin tegang hingga lupa mengubah posisi tombak seperti yang seharusnya. Sampai-sampai rekan yang berada di belakangnya mencolek dan mengingatkan. “Itu pengalaman yang tidak pernah saya lupa, sampai malu.”
Namun, peristiwa itu justru menggembleng mentalnya. Kini ia lebih lebih santai dan lebih percaya diri saat betugas, serta tak lagi berfokus pada penonton.
Pelatih Burung Berkicau
Sebagai sumber nafkah utama, Dian membuka sekolah burung di rumahnya. Burung-burung berkicau dititipkan padanya selama beberapa bulan untuk dilatih agar menjadi juara lomba. Keahlian ini tak datang begitu saja. Sejak kecil, Dian senang memelihara hewan, termasuk ikan dan ayam. Hobi merawat burung juga ia warisi dari sang kakek. “Tahun 1991 (saya) dapat amanah (untuk merawat burung) branjangan dari Simbah. (Saya) kelas dua SD. Dari dititipi Simbah muncul rasa cinta. Burung nggak bisa bunyi, kita rawat, kok bisa jadi bunyi.”
Hobi ini selain menghasilkan materi, juga mendatangkan kepuasan batin. Terutama bila burung binaannya juara. Dian juga berkesempatan berkeliling ke berbagai kota untuk menjadi juri lomba. Setelah sempat melatih berbagai jenis burung, kini ia berfokus pada burung murai saja.
Keseriusannya menekuni bisnis tersebut membuat istri Dian yang semula enggan mendukungnya untuk mengabdi di keraton berubah pikiran. Sang istri memang awalnya kurang setuju Dian menjadi Abdi Dalem karena mengkhawatirkan segi ekonomi. Namun, Dian mengemukakan pendapatnya, bahwa rezeki tidak selalu berwujud finansial. Menurutnya, hati yang tenang dan persahabatan yang datang kepada mereka juga merupakan berkah. Di sisi lain, ia memahami kegalauan istrinya, terlebih mereka telah memiliki dua orang anak. Berkat kompromi dan saling pengertian, Dian mendapat lampu hijau untuk memenuhi panggilan jiwanya. Sang istri juga menemukan peluang bisnis jasa binatu yang terus berjalan hingga kini.
Berkah yang Dian rasakan setelah mengabdi di keraton adalah kedewasaan, pematangan pikiran, dan kenyamanan hidup. “Jadi nggak pernah berpikir yang aneh-aneh,” jelasnya. “Pada saat orang sekitar kita menginginkan sesuatu, saya sudah nggak menginginkan apa-apa. Jadi sudah benar-benar merasakan tenteram.” Ia tak lagi mementingkan gengsi, “Kayak motor (yang penting) bisa buat jalan, fungsional, bukan untuk gaya hidup.” Ia juga menghilangkan hal-hal yang memberatkan pikiran sehingga bisa menjalani hidup dengan santai.
Dian menilai keraton kini sudah cukup maju terkait teknologi informasi. “Menurut saya pribadi sudah ada kelebihan khusus. Punya nilai plus daripada era-era yang dulu. Pemucalan sekarang tidak harus di tempat pawiyatan. Ketemuan di sini aja sudah bisa. Kalau dulu harus pawiyatan delapan jam, empat jam, tiga jam, sekarang bisa langsung bertemu tanya jawab.”
Ia berharap anak-anak muda bisa mempelajari budaya Jawa sejak dini. “Mulai dari sekarang, mulai detik ini bisa belajar kebudayaan sendiri. Kalau bukan dari kita, dari siapa lagi, karena budaya adalah jati diri kita.”