Wayah Dalem RM Drasthya Wironegoro, Kapten Bregada dan Remaja yang Bervisi Global
- 27-02-2024
Terlahir sebagai cucu raja Yogyakarta, Raden Mas Drasthya Wironegoro sering disangka menjalani kehidupan serba mudah dan menyenangkan. Tak banyak yang tahu, sejak kecil RM Drasthya ditempa agar mandiri dan siap memikul tanggung jawab di keraton. Satu demi satu kewajiban ia pahami lewat contoh nyata dari orang-orang terdekatnya, terutama kedua orang tuanya, GKR Mangkubumi dan KPH Wironegoro.
Kini, di usianya yang kedelapan belas, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional UGM ini mulai dipercaya untuk menjalankan tugas resmi di lingkungan keraton. Salah satunya adalah menjadi Kapten Bregada (Prajurit) Wirabraja.
RM Drasthya bergabung di kesatuan tersebut atas arahan sang paman, KPH Notonegoro, untuk terlibat dalam Hajad Dalem Garebeg Mulud Jimawal 1957/2023. Putra GKR Condrokirono, yakni RM Gustilantika Marrel Suryokusumo, juga menerima tugas yang sama dan ditunjuk sebagai Kapten Bregada Mantrijero. Tak banyak waktu untuk mempersiapkan diri karena latihan gladi prajurit tinggal sekitar empat hari sebelum pergelaran acara, padahal keduanya belum pernah masuk dalam kesatuan prajurit. “Itu pertama kali (saya bertugas) di (prosesi) Garebeg. Awalnya bingung karena aku kira aku (akan) jadi prajurit ternyata jadi kapten,” ujar RM Drasthya. Sosok RM Drasthya yang menjulang setinggi 189 cm, menjadikannya figur yang menonjol dan gagah dalam posisi itu.
Awalnya, ia merasa kesulitan, “Kan pertama kali jadi prajurit, masih bingung langkah kakinya, arah hadapnya.” Ia dan RM Marrel berusaha secepatnya menyesuaikan diri, “Kadang-kadang tuh mau jatuh dan bajunya kan berat,” lanjutnya. Perasaan gugup berhasil ia tepis setelah bertemu teman-teman Abdi Dalem yang telah ia kenal. “Dibilang grogi sih grogi karena di depan banyak orang, tapi karena ada teman-teman yang aku kenal, (aku) jadi lebih santai.”
Setelah berlatih dan menerima bimbingan dari prajurit yang lebih senior, RM Drasthya dan kakak sepupunya tersebut berhasil menjalankan tugas dengan baik. Direncanakan keduanya akan menempati posisi tersebut dalam upacara-upacara Hajad Dalem selanjutnya.
Tanggung Jawab sebagai Cucu Raja
RM Drasthya yang juga kerap dipanggil Imas belajar menjalani tradisi keraton sejak sangat muda. Ia dan cucu-cucu sultan lainnya diwajibkan mengikuti upacara Ngabekten dan berlatih laku dhodok (berjalan jongkok) di depan Eyang mereka, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10. Mereka juga diajak menyaksikan upacara-upacara Hajad Dalem, seperti Siraman Pusaka dan Garebeg.
Begitu menginjak usia tujuh belas, RM Drasthya mulai diberi tugas resmi, misalnya menerima tamu negara, mendampingi pelaksanaan konferensi pers, mengikuti Siraman Pusaka, serta terlibat secara aktif dalam upacara tradisional lainnya walau sebagian besar masih di bawah pengawasan.
“Saya itu ibaratnya baru dikasih sneak-peak. Kayak siraman pusaka itu kan juga sneak-peak. Saya lihat dulu suasana kayak gimana.”
Namun, perlahan ia dilepas untuk menjalankan kewajiban secara mandiri, seperti saat menerima tamu. “Ini pertama kali dipercaya 100% untuk jalan sendiri. Baru (acara-acara) kecil begitu saja.”
Sejak belia RM Drasthya memiliki jiwa kepemimpinan kuat dan menyukai kegiatan organisasi. Sewaktu SMP misalnya, RM Drasthya menjadi pengurus OSIS. Ketika belajar di SMA De Britto, ia menjadi pembawa acara Malam Keakraban yang dihadiri oleh 1000 peserta. Kini RM Drasthya menjabat Vice President International Pillar di JCI (Junior Chamber Internasional, organisasi kepemudaan dan sosial) untuk wilayah Yogyakarta. Di tingkat pusat organisasi tersebut, ia menjadi pengurus International Affairs, khususnya untuk hubungan Indonesia-Jepang. Pada Januari 2024 lalu, RM Drasthya bersama rombongan JCI Indonesia bertolak ke Jepang. Ia menjembatani dialog antara JCI Indonesia dengan JCI Jepang. Sebelum menduduki jabatan Vice President, ia bertindak sebagai Ketua Umum dalam dua kegiatan pelestarian lingkungan, yaitu beach clean-up di Pantai Parangkusumo dan river clean-up di Sungai Winongo. Keduanya diikuti oleh ratusan peserta.
Sementara itu, di kampus, RM Drasthya menjadi Ketua Angkatan, Ketua Social Work, dan Ketua Kelompok Action Plan. Di jurusannya, RM Drasthya aktif dalam organisasi Komahi (Korps Mahasiswa HI) dan menjadi pengurus departemen olahraga. Pemuda yang gemar olahraga ini percaya bahwa kegiatan fisik dapat mendekatkan banyak mahasiswa yang punya beragam latar belakang.
Dengan segudang kegiatan, ia harus pandai mengatur waktu. “Harus bagi mana prioritas dan pastinya aku buat simpel. Kalau ribet malah pusing sendiri. Hari kerja itu (digunakan untuk) kuliah atau organisasi atau kegiatan biasa. Kalau libur pasti buat keluarga atau (melaksanakan) dhawuh.” Ia selalu berusaha menyusun jadwal dengan realitis sehingga tidak mengganggu kesehatan. “Hal yang paling penting, harus belajar bilang tidak,” lanjutnya. Ia menjelaskan banyak orang kesulitan menolak ajakan, padahal itu harus dilakukan bila sudah ada jadwal yang ditetapkan.
Gemar Memasak seperti Eyang
Hobi utama RM Drasthya adalah memasak. Kegemaran ini menurun dari sang Eyang. Bahkan kecintaan terhadap dunia boga muncul karena menyaksikan Eyangnya memasak setiap akhir pekan ketika keluarga besar berkumpul. Saking sukanya memasak, ia sempat ingin belajar tata boga dan menjadi chef. Namun, karena berbagai pertimbangan, ia memutuskan untuk fokus pada minatnya yang lain, yaitu ilmu sosial. “Ternyata Kanjeng Noto (alumnus) HI juga. Kenapa juga nggak aku konsultasi ke beliau. Terus kami bertemu. (Aku bertanya) gimana sih HI tuh. Ternyata menarik juga karena di UGM itu ada jurusan International Undergraduate Program.”
Di sela-sela kesibukan, hobi memasak masih ia jalani. Ia sering memasak untuk keluarga dan teman-teman, “Misal ada teman ngajak di restoran yang masak sendiri, itu pasti aku yang masak. Sampai kalau aku ulang tahun ada barbecue tetap aku yang masak. Bukannya aku nggak percaya teman masak, tapi kayak panggilan aja karena memang hobi. Mood booster-ku itu masak.”
Menu Barat ia pelajari dari internet. Sementara untuk masakan tradisional, ia belajar dari juru masak Ndalem Kilen serta kedua Eyangnya. Masakan rumah di Ndalem Kilen ia gambarkan sebagai makanan terlezat yang belum ia temukan tandingannya di luar.
Tahun lalu, RM Drasthya mulai belajar golf. Kadang kala RM Drasthya menemani Ngarsa Dalem bermain karena ia satu-satunya anggota keluarga yang dapat memainkan olahraga tersebut. Golf menjadi hobi barunya setelah sebelumnya ia menekuni renang dan basket.
Belakangan ini, RM Drasthya juga hobi menari. Berbeda dari kebanyakan anggapan orang, ternyata cucu-cucu sultan tak diwajibkan belajar menari atau berkesenian tradisional lainnya. Namun, mereka terus dipaparkan dengan kesenian-kesenian tersebut, hingga tumbuh kecintaan secara alami. Inilah yang terjadi pada RM Drasthya. Pada usia tujuh belas, ia diajak menari oleh Kanjeng Noto. Pemuda itu melihat sang paman menari dan menyadari keindahan tarian Jawa. Sejak itu, ia berlatih di Kridhamardhawa serta memanggil guru tari ke rumah dan menyukai tari gagahan, “Dari awal (aku menari) gagahan. Tari alus belum pernah belajar. Karena aku beneran enjoy. Bisa aku jadikan hobi, kan olahraga juga.
Hasil latihannya ia tunjukkan di depan umum saat berperan sebagai Batara Bayu dalam pertunjukan virtual live Wayang Wong “Gana Kalajaya” yang digelar September 2021 dalam rangka memperingati dukungan India untuk Indonesia selama masa revolusi 1945.
Petuah Ngarsa Dalem
RM Drasthya menyerap banyak pelajaran dari sang Kakek. Salah satu yang ia pegang erat adalah pentingnya menjaga harga diri. “Ngarsa Dalem selalu menjelaskan bahwa harga diri itu adalah nilai tertinggi dalam hidup.” Harga diri, dalam pandangannya, bisa diimplementasikan dalam banyak hal. “Pokoknya dalam melakukan apa pun di dunia ini jangan sampai membuang harga diri semudah itu.”
Ngarsa Dalem juga selalu mengingatkan bahwa ia dan saudara-saudaranya memiliki tanggung jawab lebih. “Memang tanggung jawab yang diberikan dari lahir. Bukannya kita memilih untuk lahir di sini, tapi memang tanggung jawab ini harus selalu dijalani.”
Meski memiliki tanggung jawab yang agak berbeda dari rekan-rekan sebayanya, pada dasarnya kehidupan RM Drasthya sama dengan remaja pada umumnya, “Wayah Dalem (cucu sultan) atau bukan, hidupku sama-sama kayak teman-temanku. Cuma seperti tadi, soal tanggung jawab dan lingkungan harus tetap dijaga, perilaku harus dijaga, tapi itu juga datangnya natural, bukan terpaksa sehingga harus jaga image gitu.”
Sewajarnya anak remaja, RM Drasthya juga mengalami fase gejolak emosi. “Karena nggak seperti orang yang bilang jadi Wayah Dalem itu enak, hidupnya gampang atau apa.” Ia tak menampik, awalnya ada rasa berat saat ia harus bertugas, sementara teman-temannya dapat bermain sesuka hati. “Tapi setelah denial-ku ini pasti ada refleksi diri. Memang mau ngapain sih, mau kabur?” Perlahan, ia melewati fase itu. “Sekarang udah bisa menerima.”
Dekat dengan Ayah dan Ibu
Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi dan Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro merupakan public figure yang sangat sibuk. Seringkali mereka hanya bisa bertemu anak-anak pada waktu malam. Namun, RM Drasthya tak pernah merasa jauh dari orangtuanya. Setiap hari komunikasi antara mereka terjalin baik. RM Drasthya pun nyaman membicarakan banyak hal pada keduanya. Dari sang Ibu, RM Drasthya mendapatkan teladan untuk peka terhadap sekitar dan pandai bersyukur. Sementara, dari ayahnya ia banyak belajar soal kemandirian dan disiplin. “Uniknya cara (mereka berdua) menyampaikannya meaningful, jadi bisa aku ingat terus, bukan hanya omongan tapi diajarkan juga berperilaku seperti apa.”
Dengan nada humor, ia menyinggung kemampuan masak ibunya yang tak lebih baik darinya. “Beliau ini baru coba masak setelah punya anak dan baru-baru ini. Setiap pagi tuh kadang Ibu masak dan Ibu kayak maksa aku harus makan. Aku harus pura-pura dan bilang kalau ini enak padahal kadang-kadang nggak enak. Jadi aku bilang, ‘Enak banget ini tapi aku udah kenyang.’ Tapi kadang-kadang juga enak.”
RM Drasthya juga dekat dengan Ngarsa Dalem. Bermain golf, makan bersama, dan mengobrol biasa dengan sang Kakek ia rasakan sebagai momen istimewa. “Karena saya bicara dengan orang yang lebih tua dan pasti lebih banyak pengalaman. Jadi pasti relate untuk menanyakan ilmu hidup atau hal lain.”
Keraton pada Era Globalisasi
Seperti kebanyakan Gen Z, RM Drasthya akrab dengan teknologi informasi. Ia sangat mendukung keterbukaan keraton terhadap penggunaan teknologi tersebut. Ia tahu teman-teman sebayanya tertarik dengan budaya, tetapi ketertarikan itu harus dijembatani dengan media yang mereka akrabi. “Penting banget budaya itu dilestarikan supaya tidak hilang. Misalnya transkrip di keraton itu kan (tercetak dalam bentuk) buku dan tidak semua remaja mau baca buku,” ujarnya.
Ngarsa Dalem beberapa kali menegaskan bahwa keraton mengikuti globalisasi. “Bukan artian mengikuti apa yang datang ke Indonesia tapi mengikuti globalisasi ini gerak dan bagaimana kita melestarikan budaya kita selamanya,” jelas RM Drasthya.
Tingginya kunjungan wisatawan, bagi RM Drasthya merupakan indikasi bahwa keraton merupakan magnet budaya yang kuat. Untuk itulah, ia mengganggap penyegaran museum keraton, seperti yang sudah dilakukan beberapa tahun terakhir, wajib terus dilakukan. “Kayak kemarin baru aja selesai pamerannya Ngarsa Dalem. Aku ngajak teman-teman, udah tiga kali bolak-balik situ. Selalu (ada yang) baru. Teman-teman UGM kan banyak dari Jakarta, penasaran. Refresment itu yang bakal memamerkan budaya ini lebih jauh.”
Ia berharap keraton terus menjadi pusat budaya yang dipelajari orang-orang dan mudah diakses secara digital. Ia juga menginginkan keraton semakin berkibar di kancah internasional, yang dalam hal ini sudah dibuktikan dengan salah satunya, pengakuan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Menyadari suatu saat generasi muda akan memegang tampuk kepemimpinan di negeri ini, RM Drasthya mengajak teman-temannya untuk terus belajar. “Tidak hanya di sekolah tapi di organisasi atau memberanikan diri untuk memperluas wawasan,” jelasnya. Ia juga menyarankan agar anak muda memegang prinsip mereka sendiri, walau berbeda dari yang lain. Keberanian untuk merambah hal baru dan melestarikan lingkungan juga ia anggap penting. “Explore the world, save the environment untuk masa depan.” Menurutnya banyak hal yang bisa dilakukan saat ini yang mungkin saja tak bisa dilakukan di masa mendatang. “Kalau diberi kesempatan ya lakukan aja karena kalau mikirnya aku nggak bisa, itu nggak akan maju dan nggak akan belajar.”