Mas Jajar Kintaka Sunarta, Kecintaan Terhadap Bahasa Daerah dan Naskah Kuno
Kawedanan Widya Budaya merupakan pengelola bahan pustaka yang dimiliki Keraton Yogyakarta, mulai dari surat, majalah, buku, hingga naskah kuno (manuskrip). Mengingat pustaka tersebut bertalian dengan sejarah dan pengetahuan tentang budaya Jawa, Widya Budaya memiliki peran penting dan harus digawangi oleh tenaga pengelola yang mumpuni.
Bambang Sunarto merupakan salah satu tenaga pengelola itu. Sebelumnya, Mas Bambang bekerja di Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. Instansi itu menugaskannya di keraton berlandaskan kerja sama yang telah terjalin beberapa lama. Begitu kontrak dengan DPAD DIY selesai, ia diminta untuk melanjutkan bekerja di Widya Budaya. Laki-laki muda yang tinggal di Babarsari ini langsung menjalani magang dan kemudian diangkat sebagai Abdi Dalem pada Desember 2020, menyandang Nama Paring Dalem Mas Kintaka Sunarta dengan pangkat jajar.
Awalnya Mas Jajar Kintaka Sunarta bertugas di golongan Pustaka dan Kintaka. Tugasnya adalah mendata, mengidentifikasi, dan menata arsip, lalu menuangkannya ke dalam senarai/katalog. Nyaris semua arsip keraton disimpan di Kawedanan Widya Budaya, termasuk arsip-arsip dari Kridhamardhawa yang baru-baru ini diserahkan kepada Widya Budaya. Terkumpul sejak Keraton Yogyakarta berdiri, banyak arsip telah termakan usia hingga rusak, berlubang, atau sobek. Mas Jajar Kintaka Sunarta dan rekan-rekan satu tim bertugas mendata arsip ini, kemudian menyerahkan ke bagian restorasi untuk dipulihkan mendekati kondisi semula.
Pada 2023 Mas Jajar Kintaka Sunarta diliyer (dipindahkan) ke golongan kapujanggan. Di sinilah pengetahuan yang ia dapatkan dari jurusan Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada benar-benar ia terapkan. Konsentrasi filologi, ilmu mengenai naskah kuno, yang ia tekuni saat kuliah sangat mendukung tugasnya mengalih aksara dan mengalihbahasakan manuskrip-manuskrip lama yang kebanyakan tertulis dalam huruf Jawa. Naskah-naskah ini memuat catatan sejarah, silsilah, cerita pewayangan, dan masih banyak lagi. Sementara manuskrip yang diserahkan oleh Kridhamardhawa kebanyakan berisi naskah-naskah tari dan seni pertunjukan lainnya.
Widya Budaya
Selain golongan pustaka dan kintaka serta kapujanggan, Widya Budaya membawahkan dua golongan lain, yaitu pasinaon dan upacara. Saat keraton menyelenggarakan Hajad Dalem, Abdi Dalem Widya Budaya otomatis terlibat. Mas Jajar Kintaka Sunarta pernah bertugas hampir dalam semua Hajad Dalem besar, seperti Garebeg, Labuhan dan Siraman Pusaka.
“(Kami) mempersiapkan ubarampe, misalnya pas siraman butuh kain atau apa, itu Widya Budaya yang menyiapkan. Daun-daun atau bunga, itu Widya Budaya (juga) yang menyiapkan,” jelas Mas Jajar Kintaka Sunarta.
Terkadang Abdi Dalem Widya Budaya juga ditugaskan untuk membantu pengolahan arsip di kawedanan lain. Seperti saat ini, sebagian dari mereka diperbantukan untuk mendata dan menata arsip di Panitikisma, kawadenan yang mengurusi tanah keraton.
Merawat Warisan
Tidak mudah merawat naskah-naskah kuno. Mas Jajar Kintaka Sunarta mencontohkan, tugasnya mengalihkanbahasakan naskah-naskah itu terkadang menghadapi tantangan seperti aksara yang sudah rusak, tinta meleber, atau kertas sobek. Tentu saja, naskah yang seperti itu jadi sangat sulit atau mustahil untuk dibaca.
“Memang tidak bisa mendata dengan lengkap. Didata saja apa yang bisa didata,” ujar Mas Jajar Kintaka Sunarta terkait permasalahan semacam itu. Sebisa mungkin mereka merestorasi naskah-naskah rusak yang masih bisa diselamatkan. Butuh ketelitian, ketekunan, dan kesabaran, tetapi Mas Jajar Kintaka Sunarta tak pernah mengeluh.
“Sukanya lebih banyak,” katanya. “Kita bisa terlibat langsung dalam upacara-upacara yang tidak semua orang bisa ikut. Sambil melestarikan (tradisi). Itu suatu kebanggaan. (Dan) karena background saya sastra Jawa, mengolah manuksrip itu memang linear.”
Lebih jauh Mas Jajar Kintaka menegaskan bahwa digitalisasi arsip dan manuskrip penting untuk tujuan pelayanan. “Kalau ada pengunjung atau peneliti yang minta data kan kami tidak boleh memberikan naskah asli. (Kami memberikan) soft file atau dicetak.” Upaya ini bertujuan menjaga kelestarian naskah agar tidak sampai hilang atau rusak karena terlalu sering disentuh. Ini menjadi solusi menang-menang bagi semua. Manuskrip tetap terjaga, tetapi muatan pengetahuannya tetap tersebar. Mas Jajar Kintaka Sunarta menginginkan agar lebih banyak masyarakat mengetahui budaya keraton. “Kalau (ingin melakukan) penelitian, bisa ke Widya,” undangnya. Diharapkan kesan bahwa naskah keraton sulit diakses perlahan mulai memudar.
Dalam mengolah naskah, seringkali Mas Jajar Kintaka Sunarta takjub dengan keindahan naskah. “Ornamen-ornamen wedana-nya itu bagus sekali. Sampai mikir ini bagaimana membuatnya zaman dahulu.” Ornamen dimaksud adalah dekorasi yang menghias halaman-halaman naskah.
Sementara, saat menangani arsip terkadang ia menemukan hal-hal lucu, “Saya pernah menemukan laporan ada anak kecil naik pohon jambu (di lingkungan keraton). Itu dilaporkan,” kisahnya sambil tertawa kecil.
Ia menegaskan bahwa suasana pekerjaan di Widya Budaya begitu menyenangkan. “Teman-teman, Romo-Romo yang senior juga menyenangkan, seperti tidak ada sekat. Bercanda ya bercanda, tidak sepaneng. Kanjeng-nya juga, seperti tidak ada batasan, walau harus tetap menjalankan unggah-ungguh.”
Menjaga Bahasa
Mas Jajar Kintaka Sunarta sowan ke keraton setiap hari, dari Senin hingga Sabtu. Di luar itu, ia menjadi penyunting dan penerjemah paruh waktu, kebanyakan untuk dokumen berbahasa Jawa. Pengolahan bahasa memang sudah menjadi kecintaannya. Berbagai pekerjaan telah ia jalani sejak kuliah dan sebagian besar berkutat dalam bidang kebahasaan. Ia misalnya pernah menjadi pengisi suara dan transcriber untuk Google Bahasa Jawa.
Namun, laki-laki lajang yang dahulu aktif di organisasi karawitan dan pecinta alam ini mengakui bahwa semenjak bekerja di keraton ia menjadi lebih mengenal budaya Jawa. Ia makin menyadari pentingnya regenerasi ahli-ahli naskah berbahasa daerah. Selain itu, ia lebih menghayati falsafah Jawa nrima ing pandum, mensyukuri apa pun yang kita dapatkan. Sikap empan papan (menempatkan diri dengan benar) juga makin terbentuk. “Kita yang biasanya berperilaku seenaknya, kalau sudah di keraton harus sopan,” tuturnya. Sementara, secara batin ia merasa lebih tenteram.
Di waktu luangnya, ia menjalankan kegemarannya, yaitu bermain gim daring. Selain itu, ia juga memiliki ketertarikan untuk menziarahi makam-makam tokoh bersejarah. “Kalau sedang ingin dan luang saja,” katanya terkait agenda tersebut, “Setahun (sekitar) lima kali.”
Dia dan teman-temannya biasanya berkunjung ke makam yang belum pernah mereka datangi atau sedang mereka kangeni. Makam Imogiri, Kotagede, Gunung Kelir, Kembang Lampir, Kajoran, dan Sunan Bayat (Klaten) adalah sebagian makan yang pernah ia ziarahi.
Ia mengundang generasi muda sebayanya untuk bangga pada budaya nusantara. “Karena budaya adalah identitas kita.” Ia berharap ada lebih banyak penerus yang mampu menerima tongkat estafet pelestarian budaya dari generasi sebelumnya.
PERISTIWA POPULER
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas