MW Widyasastra Pitaya, Berlomba dengan Waktu Menjaga dan Menyelamatkan Naskah Warisan
- 27-12-2022
Kawedanan Widya Budaya merupakan pusat penyimpanan naskah dan arsip Keraton Yogyakarta. Terdapat ribuan layang, serat, babad, dan dokumen-dokumen kenegaraan yang diterbitkan sejak abad ke-18. Pengelolaan dan perawatan komprehensif mutlak dibutuhkan demi menjaga naskah-naskah tersebut dari kerusakan, terutama naskah yang memuat kunci-kunci sejarah dan mengandung nilai sastrawi tinggi.
Mas Wedana Widyasastra Pitaya adalah salah satu pelestari kunci naskah-naskah berharga tersebut. Bekerja sebagai Abdi Dalem di Widya Budaya, tugas utamanya adalah mengelola serta mengawetkan naskah-naskah keraton, termasuk merestorasi demi memperpanjang usia naskah kuno.
Naskah dan persuratan tertua yang ada di keraton menurut Pak Pitaya berasal dari masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1828). Setelah itu, tidak semua masa pemerintahan ada arsipnya. “Ada masa yang kosong atau cuma sedikit.” Kekosongan naskah ini disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya penjarahan naskah pada masa kolonial.
Reformasi Pengelolaan Arsip
“Tahun 1995 kebetulan Kantor Arsip Daerah ada kegiatan pengelolaan arsip di Widya Budaya. Salah satu tenaga proyek itu saya,” kisah pria bernama asli Muhammad Ali Pitaya ini mengenai awal mulanya bergabung dengan keraton. Lulusan D3 Kearsipan UGM dan D4 Kearsipan Universitas Terbuka ini bekerja sebagai PNS di kantor tersebut.
Berawal dari proyek itu, Pak Pitaya akhirnya lebih banyak ditugaskan di lingkungan keraton. Ia meneruskan program yang sudah berjalan. Salah satu tugas awalnya adalah membuat deskripsi arsip.
“Kebetulan pada saat saya membuat daftar arsip yang pertama tahun 1996, (daftar arsipnya) belum sesuai standar yang berlaku, karena waktu itu pedoman pengelolaan arsip juga belum seperti sekarang,” tuturnya. Ia beserta anggota tim arsip lainnya (saat ini berjumlah enam orang) berinisiatif untuk membuat daftar demi mempermudah pengunjung dan peneliti yang membutuhkan arsip tertentu. Mereka memilah-milah dokumen berdasarkan tema, tepas, kawedanan, dan periode sultan.
Pengelolaan arsip di keraton menghadirkan tantangan tersendiri karena 90%-nya tertulis dalam aksara Jawa. Aksara ini pun bukan aksara Jawa standar seperti yang jamak diajarkan di sekolah, melainkan aksara Jawa “seredan” yang lebih mirip huruf bersambung. Para petugas arsip awalnya tidak dapat membaca aksara itu sama sekali. Sementara informasi di dalamnya wajib diketahui agar dapat dimasukkan dalam daftar. Untuk itu Pak Pitaya belajar pelan-pelan sambil terus berkonsultasi pada para Abdi Dalem senior yang lebih menguasai pembacaan aksara Jawa.
Tahun demi tahun berlalu dan akhirnya pada 2001, tim arsip Widya Budaya membuat pedoman yang sesuai standar. “Jadi yang kita buat bukan (lagi) daftar arsip, tetapi daftar senarai arsip.” Daftar senarai arsip adalah sebutan resmi sistem pengelolaan arsip statis yang berlaku saat ini.
Proyek dari Dinas Kearsipan tersebut tidak berjalan tanpa tantangan. Ketika anggaran habis, proyek terpaksa dihentikan dan baru dilanjutkan kembali setelah anggaran baru turun. Namun, keraton terus mengupayakan agar Pak Pitaya dan tim tetap mengelola arsip karena pada waktu itu kebanyakan Abdi Dalem di Widya Budaya berusia lanjut. Tenaga-tenaga baru yang lebih energik dibutuhkan untuk melayani permintaan akses arsip, apalagi saat itu ruang arsip sedang direnovasi sehingga arsip-arsip dipindahkan ke beberapa tempat berbeda. Konsekuensinya, para pengelola arsip harus hilir mudik mengambil arsip yang dibutuhkan.
Pak Pitaya diangkat menjadi Abdi Dalem pada 2000 atas rekomendasi Penghageng Widya Budaya berkat intensitas dan ketekunannya dalam menjalankan tugas. Hingga saat itu, ia sudah sering terlibat dalam kegiatan keraton, termasuk Hajad Dalem, seperti Labuhan dan Garebeg. Pak Pitaya memulai dari tahap magang dengan pangkat jajar. Pangkatnya naik secara berkala, menjadi Bekel Enom, Bekel Sepuh, dan kini Wedana.
Tugas utamanya di kawedanan selain mengelola arsip adalah merestorasi naskah-naskah lama yang terancam rusak. Arsip Nasional memberi bimbingan pada tahap awal restorasi. Naskah-naskah yang rusak parah diprioritaskan. Ada beberapa penyebab kerusakan naskah. Di luar faktor usia, bahan naskah bisa menjadi pemicu. Ada tinta-tinta tertentu mengandung kadar zat besi yang terlalu tinggi justru membuat kertas berlubang. Faktor cuaca yang terlalu panas dan lembap juga berpengaruh. Inilah mengapa arsip harus ditempatkan di ruang ber-AC dengan suhu antara 22-26 derajat celcius. Higrometer harus selalu tersedia untuk memantau kelembapan yang idealnya berkisar antara 55-60 RH.
Kondisi ini menuntun tim arsip pada tugas menantang selanjutnya: digitalisasi naskah. Naskah-naskah yang ada direkam dalam format digital. Selain untuk mengabadikan isinya, metode ini akan memperpanjang usia naskah asli yang tak boleh sering-sering tersentuh tangan. Nilai plusnya, arsip lebih mudah dicari dan diakses.
Antara 2009-2011, Universitas Leipzig, Jerman memberikan bantuan teknis terkait kodikologi (analisis aspek-aspek fisik naskah kuno), restorasi, dan digitalisasi. Universitas tersebut mengajarkan cara-cara untuk menjilid, mengganti sampul, dan sebagainya.
Mulai 2015, keraton menjalankan program restorasi ini secara mandiri. Di sini Pak Pitaya memiliki peran besar sebagai penentu naskah yang harus direstorasi sesuai level urgensinya.
Selain mengelola dan melestarikan naskah, tim arsip Widya Budaya juga diminta untuk berpameran setidaknya setahun sekali. Dalam kesempatan ini duplikat naskah-naskah kuno dikeluarkan agar bisa dilihat langsung oleh masyarakat umum. Pak Pitaya dan rekan-rekan menjadi pemandu dalam acara semacam ini. Kawedanan Widya Budaya juga bertanggung jawab menyiapkan Hajad Dalem. Tak heran, jadwal tugas ayahan Abdi Dalem di kawedanan ini lumayan padat.
Satu lagi tugas berat yang diemban tim arsip, yaitu mengalihaksarakan naskah dari aksara Jawa ke aksara latin kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Upaya ini butuh keahlian spesifik dan proses panjang, tetapi sangat penting karena tidak semua peneliti atau masyarakat lain yang berkepentingan terhadap arsip dapat berbahasa Jawa apalagi membaca aksara Jawa.
Oleh karenanya, Pak Pitaya dan tim mengalihaksarakan naskah-naskah ini setiap hari. Seringkali salinan naskah dibawa ke rumah agar pekerjaan selesai lebih cepat. Sementara, penerjemahan dilakukan secara insidentil sesuai peluang yang ada. Perjalanan naskah masih panjang karena harus disunting, dicetak, dan dijilid. Tenaga profesional dari luar tim dilibatkan untuk memberikan hasil terbaik.
Kompetensi tim arsip keraton telah teruji. Pitaya mengisahkan, “Dulu pernah ada kunjungan Kepala Arsip Nasional. Beliau menantang kami petugas untuk mencari arsip. Waktu itu tidak sampai setengah menit kami dapat menyajikan arsip yang beliau kehendaki.” Keberhasilan ini kemudian menjadi berita di surat kabar pagi berikutnya.
Imbalan yang Melebihi Materi
Pak Pitaya bertugas di keraton tiga empat kali dalam seminggu. Ia masih punya sederetan aktivitas profesional kearsipan di luar keraton. Namun, ia selalu menemukan waktu untuk pengabdian kemasyarakatan yang lain di bidang kerelawanan bencana dan keagamaan. Sementara untuk hobi pribadinya, ayah tiga anak ini memilih merawat motor lawas, memelihara ikan, burung, serta tanaman hias.
Menyandang status Abdi Dalem menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi Pak Pitaya karena kedudukan tersebut dipandang lebih oleh masyarakat. “Jika bertugas di luar sambutan masyarakat sangat senang, minta foto.” Terkadang, Pak Pitaya juga dimintai informasi, pendapat, bahkan saran terkait peristiwa yang tengah ramai dibahas. Penghormatan semacam ini sudah tak asing bagi Pak Pitaya berhubung ayahnya dulu juga bertugas sebagai Abdi Dalem di Kepatihan (Kantor Gubernur) dan menangani tata usaha hingga masa pensiunnya. Ia melihat, kalangan masyarakat desa menghormati sang ayah karena kedudukan tersebut.
Bagi Pak Pitaya salah satu kebaikan yang melekat pada diri Abdi Dalem adalah tata krama yang terjaga, termasuk saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Selain itu adalah perasaan yang semeleh, jauh dari keserakahan. Di dalam keraton, tutur Pitaya, tidak ada upaya saling menjatuhkan. Semua bekerja sama.
Salah satu berkah terbesar yang dirasakan setelah ia bergabung menjadi Abdi Dalem adalah kemudahan yang ia dapatkan untuk beribadah haji pada tahun 2012 setelah penantian panjang penuh kesabaran.
Berkejaran dengan Waktu
Merestorasi naskah kuno ibarat berlomba dengan waktu. Beberapa naskah sudah sangat tua dan merapuh. Perlu gerak cepat untuk menyelamatkannya, sementara tenaga yang ada terbatas.
Inilah mengapa Pak Pitaya berharap anak-anak muda mau berperan serta menjaga warisan budaya, apa pun itu bentuknya. Ia merasa sedih bila melihat petilasan dicorat-coret. Perbuatan perusakan semacam itu tentu mengkhianati upaya untuk membangun dan memperjuangkannya. “Warisan budaya lama kelamaan akan rusak termakan usia. Bagaimana cara mereka (generasi muda) agar bisa menikmati sekaligus menjaga kelestariannya.”
Terkait dengan arsip, Pak Pitaya berharap penataan dan digitalisasi arsip di keraton cepat selesai. “Kalau cepat kita selamatkan, membuat panjang umur arsipnya karena di sini masih ada jutaan lembar arsip yang perlu diselamatkan.”
“Walau kita tidak berharap arsip rusak tetapi untuk antisipasi kita harus buat backup digitalisasinya karena kalau arsip (ada) yang sebagian tintanya aman, ada yang sebagian tinta dan kertasnya dalam jangka waktu tertentu rusak karena keasaaman. (Kita) bisa baca dari digitalisasinya,” lanjutnya.
Dengan dukungan moral dari istri yang juga PNS di DPAD DIY dan ketiga anaknya, Mas Wedana Widyasastra Pitaya terus berkontribusi sekuat tenaga menjaga warisan budaya dengan keahlian berharga yang dimilikinya.