KRT Rintaiswara: Pengabdian untuk Pustaka, Sejarah, dan Budaya Jawa
- 26-07-2022
Tumbu oleh tutup. Pepatah Jawa yang berarti “pertemuan dua hal yang saling melengkapi” ini bisa menjadi gambaran hubungan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Rintaiswara dan kedudukannya sebagai Abdi Dalem Kawedanan Widya Budaya, Keraton Yogyakarta.
Pria tiga putra ini telah mengabdi sejak 1988. Waktu itu, beliau masih bekerja sebagai guru pegawai negeri yang mengajar empat hari dalam seminggu. Beliau mempersembahkan dua hari yang tersisa untuk menimba ilmu sekaligus berkarya di keraton.
Sebagai orang Jawa, pria asal Selopamioro, Bantul, ini merasa terpanggil untuk menjadi kawula keraton. Pertama-tama, karena kecintaan pada tanah tempatnya hidup dan raja yang menaunginya. “Yang kedua saya senang hal-hal yang berkaitan dengan budaya, terutama budaya Jawa, entah itu bahasa, tulisan, sastra, etika, busana, arsitektur, dan lain-lain,” tuturnya. Selain itu, sebagai guru Pendidikan Moral Pancasila dan Sejarah di SMA, beliau merasa keraton adalah sumber pengetahuan yang tak ternilai. Mengabdi di keraton ternyata juga menjadi selingan menyenangkan dari rutinitasnya sebagai PNS.
Pada tahun pertama pengabdiannya, beliau belum diberi tugas spesifik. Kanjeng Rinta pun memanfaatkan masa-masa tersebut untuk mengenal keraton lebih dalam dengan mengikuti upacara adat, menonton pertunjukan wayang kulit, dan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan Abdi Dalem. Setelah itu, beliau ditempatkan di Kawedanan Widya Budaya sesuai dengan latar belakangnya sebagai sarjana sejarah dari IKIP Yogyakarta dan kemampuannya membaca dan menulis aksara Jawa. Hingga kini, beliau masih bertugas di kawedanan yang utamanya mengurusi pustaka keraton.
Pengetahuan yang Kanjeng Rinta dapatkan dari mengelola ribuan buku –di antaranya naskah-naskah kuno-- di Perpustakaan Widya Budaya, beliau sebarkan lebih jauh, “Dalam keseharian saya sering menerangkan perjuangan, tentang Perang Diponegoro, tentang perang-perang kemerdekaan, tentang peran Yogya dalam revolusi sebagai ibu kota negara.”
Bagi Kanjeng Rinta, sekadar menyerap ilmu saja tidak cukup. Beliau terpanggil untuk terlibat secara aktif meneliti, menuliskan, dan menyebarkan pengetahuan yang didapatkan. Ini mewujud dalam buku-buku beliau terbitkan, di antaranya, “Pengetahuan Tentang Keris” dan “Keraton Yogyakarta sebagai Pusat Budaya Jawa.” Selain itu, masih banyak naskah lain terkait budaya Jawa, misalnya Hajad Dalem Labuhan, Kawruh Sengkalan, Pranata Mangsa, Mataram dari Plered - Surakarta, dan lain sebagainya.
Dari Kalender hingga Garebeg
Tugas-tugas awal Kanjeng Rinta di Widya Budaya mencakup inventarisasi manuskrip dan pelabelan buku. Seiring waktu, tugasnya terus bertambah. Salah satu yang khusus adalah menyusun kalender Jawa. Pekerjaan ini membutuhkan ketelitian tinggi karena kalender Jawa memiliki sistem yang lebih rumit daripada kalender internasional, di antaranya karena adanya pasaran, wuku, dan mangsa, termasuk sengkalan –simbol penanda tahun-- “Jadi kalender itu tidak cuma menulis urutan tanggal, hari, pasaran, tetapi juga mangsa, wuku, juga harus urut, dan sengkalan-nya. Setiap tahun saya belajar, ada buku tentang sengkalan, satu itu apa-apa, nol itu apa. Jadi saya buat, saya berikan pada Penghageng kemudian, (dikoreksi) ini kurang tepat, ini tepat. Lama kelamaan mereka percaya (pada saya).” Hingga beberapa tahun silam, kalender yang diterbitkan keraton ini masih ditulis secara manual, tetapi kini sudah diproduksi dengan teknologi digital.
Pengalaman panjang dan wawasan luas menjadikan Kanjeng Rinta kerap diminta mendampingi tamu, peneliti, atau mahasiswa yang ingin belajar tentang keraton dan budaya Yogyakarta. Beliau juga diberi amanah untuk menyiapkan dan ikut serta dalam upacara-upacara adat yang digelar keraton seperti Numplak Wajik, Garebeg, Siraman Pusaka, dan Labuhan. Semua dijalani nyaris tanpa pernah absen.
Kanjeng Rinta juga mendapat kepercayaan untuk mendampingi Ngarsa Dalem dalam upacara-upacara tertentu, seperti Miyos Pusaka setiap bulan Sura. Beliau bertindak sebagai pembawa pusaka atau nongsongi (memayungi) Ngarsa Dalem sejak 2013. Ini dirasakannya sebagai anugerah. “Itu efek samping. Itu sebagai kepuasan batin. Sebagian orang nggak tertarik, saya senang kok. Kalau tidak menjadi Abdi Dalem masak saya bisa dekat dengan Ngarsa Dalem, bertemu tamu-tamu (penting).”
Lebih dari tiga puluh tahun mengabdi tentu banyak asam garam yang telah dirasakan. Namun, nongsongi raja, Kanjeng Rinta maknai lebih dalam. “Menonsong Ngarsa Dalem artinya ikut berteduh,” tuturnya. Saat melakukannya, Kanjeng Rinta bisa mengamati dan menyerap keteladanan yang dipancarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. “Saya merasakan jadi pemimpin itu begini. Ketika nongsongi Ngarsa Dalem di kereta, ketika kirab ke Kepatihan, (saya lihat) banyak orang takzim hormat kepada Ngarsa Dalem. (Mereka) hormat dan tidak nranyak (bertindak tidak sopan). Lain kan karisma seorang pemimpin dengan rakyat.”
Bila pengetahuan yang didapatkan Kanjeng Rinta dari keraton memperkaya kariernya di luar, keterampilannya mengajar justru, beliau bawa ke keraton untuk menebarkan kebaikan. Lewat program pawiyatan yang diselenggarakan oleh Widya Budaya, beliau mengajar baca tulis aksara Jawa. Beliau juga memberikan penyuluhan kepada para pamong –lurah, camat, pejabat eselon Pemda DIY-- terkait seluk beluk keraton.
Kanjeng Rinta tidak pernah memusingkan status dan jabatan. “Istilahnya saya diterima di keraton saja sudah bersyukur, sudah tenang lah, saya tidak punya pamrih macam-macam. Bukan tidak mau, tetapi bukan tujuan utama.” Meski demikian, setahap demi setahap tanggung jawabnya bertambah. Pangkat dan jabatannya naik, hingga kini beliau duduk sebagai Penghageng II. Kanjeng Rinta memandang hal tersebut sebagai amanah yang tidak ringan. “Aduh saya itu di-dhawuhi, ya bagaimana ya, di keraton saya tidak bisa menolak, tetapi saya tidak ngoyo, ambisi untuk naik pangkat dan jabatan.”
Merawat Budaya di Mana Saja
Selepas pensiun sebagai PNS pada 2003, Kanjeng Rinta mengganti hobi dari badminton dan tenis menjadi bersepeda. Beliau juga sibuk mengurus kebun di rumahnya. Namun, karawitan, hobinya sejak dahulu, tak pernah ditinggalkan. Kebetulan, beliau ditunjuk sebagai Ketua Desa Budaya di lingkup Kalurahan Selopamioro, Bantul.
Bersama istri, beliau menggerakkan ibu-ibu di desanya untuk berlatih karawitan. “Dulu keraton mengizinkan kelompok-kelompok dari luar untuk pentas di Bangsal Srimanganti. Kelompok ibu-ibu (desa saya) yang dipimpin istri saya, saya daftarkan.” Tampil di keraton mendatangkan kebanggaan dan kegembiraan bagi para warga. Kelompok karawitan dari desa lain pun ingin mendapat kesempatan serupa. “Saya daftarkan saja, ada delapan grup. Buat selingan, agar mereka tahu keraton itu bagaimana.”
Kanjeng Rinta merasa apa yang diraihnya sudah cukup. Status Abdi Dalem memberinya kebanggaan khusus, “Yang penting saya bangga kalau berpakaian seperti ini (busana pranakan), pakai keris blangkon.” Beliau tidak terlalu memedulikan pendapat orang. Baginya sesuai dengan Dhawuh Dalem, seorang Abdi Dalem memiliki beban moral yang berbeda yang mengharuskan tingkah laku keseharian diubah menjadi lebih baik. Rezeki pun dirasakan mengalir lancar sehingga beliau dapat menunaikan ibadah haji dan umrah.
Arti Kemerdekaan
“Sejarah mengajarkan bahwa kata ‘merdeka’ itu lawan dari kolonialisme. Hakikat kolonialisme adalah eksploitasi ekonomi, dominasi politik dan penetrasi kebudayaan. Kalau kita merdeka harus berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam budaya. Yang pokok adalah mengutamakan kekuatan sendiri,” Kanjeng Rinta mengingatkan.
Beliau berpesan kepada anak muda Indonesia untuk selalu menjaga kebudayaan tanah air, “Dalam kebudayaan (kita) harus berkepribadian (Indonesia). Anak-anak Indonesia silakan maju, silakan modern, tetapi jangan tinggalkan jati diri kita. Jangan sampai anak muda, setelah modern, dengan busana Jawa, gamelan Jawa, adat istiadat Jawa menjadi jauh. Eman-eman. Kesenian kita sudah dikagumi di negeri lain. Budaya kita tidak hanya milik kita sendiri sekarang, sudah diakui dunia (misalnya) batik, keris, gamelan, dan candi.”
Sementara untuk rekan-rekan Abdi Dalem, beliau menghimbau untuk bekerja dan mengabdi dengan ikhlas dalam menjaga kebudayaan serta kewibawaan keraton, termasuk merawat fisik bangunan dan benda-benda bersejarah yang disimpan di pusat budaya ini.