Mas Bekel Sastro Danu Triyono, Kesetiaan Prajurit Bugis untuk Kebudayaan Jawa
- 28-12-2021
Kegagahan dan keelokan bregada prajurit Keraton Yogyakarta menimbulkan kekaguman dalam sanubari Pak Triyana. Inilah titik awal yang mendorongnya melamar menjadi bagian pasukan kerajaan ini. Pada masa itu, tahun 1990-an, prosesnya sangat sederhana. Pak Triyana langsung diterima dan ditempatkan sebagai jajar –pangkat prajurit terendah— di kesatuan Bregada Bugis. Masa magang diisi dengan latihan berbaris, membawa senjata, dan sebagainya.
Pangkat demi pangkat keprajuritan telah Pak Triyana peroleh. Pada 2002-2006, ia menjadi Panji dua Bregada Bugis. Pada 2006, ia diangkat sebagai panji satu atau panji parentah –pemimpin pasukan— Bregada Bugis. Selanjutnya pada Februari 2015, Pak Triyana diangkat sebagai Abdi Dalem Keprajan, yaitu Abdi Dalem yang diangkat dari kalangan PNS. Nama Paring Dalem yang kini disandangnya adalah Sastro Danu Triyono dengan pangkat Mas Bekel Sepuh.
Bregada Pengawal Gunungan
Selama tiga puluh tahun lebih mengabdi, Mas Bekel Sastro Danu Triyono setia di kesatuan Bregada Bugis. Ia menemukan kenyamanan dalam keakraban para anggotanya yang sudah seperti keluarga. Namun, baginya berada di kesatuan mana pun sama saja, “Yang penting saya mengabdi jadi Abdi Dalem,” tegasnya.
Tugas utama Abdi Dalem prajurit adalah mengawal prosesi garebeg yang berlangsung tiga kali dalam setahun, yaitu Garebeg mulud, Garebeg Sawal, dan Garebeg Besar. Selain itu, mereka wajib piket di keraton dua puluh hari sekali. Mereka juga terlibat dalam Hajad Dalem dan acara-acara lainnya, termasuk yang diselenggarakan oleh pihak-pihak luar keraton. Latihan rutin pun menjadi keharusan agar mereka siap setiap waktu.
Pengawal Gunungan Garebeg
Mas Bekel Sastro Danu Triyono mengisahkan bahwa prajurit keraton mengalami pergeseran peran. Awalnya mereka dibentuk sebagai pasukan pertahanan keamanan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I, namun sejak berakhirnya masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II, fungsi mereka berubah secara berangsur menjadi fungsi seremonial.
“Bregada Bugis dikembalikan sesuai fungsinya dulu. Dulu kan tugasnya di Kepatihan, sebagai (pengawal) Patih Dalem,” tutur Pak Triyana. Sehingga mulai Garebeg Mulud Be 1944/2011, Prajurit Bregada Bugis mengawal gunungan menuju ke Kepatihan.
Ia pun menguraikan secuplik sejarah Bregada Bugis yang berasal dari Makassar, Sulawesi Utara. Seragam mereka yang serba hitam beraksen emas, berbeda dari busana tradisional Jawa pada umumnya seakan menegaskan asal-usul tersebut. Awalnya mereka adalah pendukung Kerajaan Mataram. Setelah itu mereka mengabdi di Kadipaten Mangkunegaran, Surakarta. Suatu saat mereka mengawal pemulangan GKR Bendoro, putri ke-2 Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang sebelumnya diperistri oleh KGPAA Mangkunegoro I, untuk kembali ke Kesultanan Yogyakarta. Pasukan ini diterima dengan baik oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang menyebabkan mereka enggan kembali ke Kadipaten Mangkunegaran. Mereka justru diangkat menjadi kesatuan prajurit di Keraton Yogyakarta dan bertugas di Kepatihan.
Pasukan yang berpanji “Wulan (n)dadari” (bulan purnama) berbentuk persegi panjang warna hitam, ditengahnya berwarna kuning emas. Wulan berarti bulan, sementara (n)dadari berarti mekar. Hal ini bermakna pasukan yang membawa penerangan dalam kegelapan. Dalam prosesi garebeg, mereka berada tepat di depan barisan gunungan dan mengawalnya hingga Kagungan Dalem Masjid Gedhe (sekarang menuju ke Kepatihan), diikuti oleh Prajurit Surakarsa. Kedudukan ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi Mas Bekel Sastro Danu Triyono. “Orang menunggu gunungan ya otomatis menunggu Prajurit Bugis,” ujarnya, “Kalau orang mengambil gambarnya, otomatis kita terambil gambarnya. Karena gunungan itu di belakang Prajurit Bugis.”
Dalam prosesi tersebut, Pak Triyana sebagai Panji Parentah bertanggung jawab untuk memastikan pasukannya tidak terlalu jauh meninggalkan gunungan. Sebaik mungkin ia mengatur langkah anggotanya agar jarak dengan gunungan selalu pas.
Saat-saat Istimewa
Lebih dari tiga dekade menjadi Abdi Dalem, pria yang hobi bersepeda dan jalan kaki ini tentu punya pengalaman yang tak terhitung banyaknya.
Salah satu momen yang membanggakan baginya adalah berbaris di Bangsal Pagelaran disaksikan oleh Bapak Tri Sutrisno, Wakil Presiden kala itu. Momen berkesan lainnya adalah defile bersama pasukan TNI dari seluruh Indonesia di Semarang untuk memperingati Hari ABRI pada 5 Oktober 2013. Peristiwa tersebut begitu membekas dalam benaknya karena merupakan salah satu kesempatan langka.
Banyak peristiwa kecil yang menjadi “kejutan” ketika para bregada berpawai. Mas Bekel Sastro Danu Triyono mengenang pasukan bregada pernah bubar berlarian saat geladi, karena telapak kaki mereka tak kuat menahan panasnya aspal di siang hari. Dulu Abdi Dalem prajurit memang tidak mengenakan alas kaki. “Bayangkan jam dua siang (latihan di jalan aspal) tidak pakai alas kaki. Akhirnya bubar lari,” kisahnya sambil tertawa.
Pernah kuda yang ikut prosesi mendadak ketakutan mendengar letusan senapan salvodan nyaris menerjang barisan. Sempat terjadi pula ujung senapan yang menembakkan peluru hampa –namun tetap mengeluarkan api—membakar bulu-bulu penutup kepala yang dikenakan oleh salah satu bregada.
“(Suatu ketika saat prosesi) sampai ke Kepatihan, yang di depan saya kan gajah, nah gajah itu kadang ya mood, kadang nggak mau jalan. Kalau gajah nggak mau jalan ya kita berhenti. Kadang ngambek gitu lho gajahnya, terus dikasih makan minum dulu baru jalan,” ujarnya mengenai masalah-masalah teknis yang terjadi selama kirab.
Kejadian lain Pak Triyana kisahkan seperti ini, “Di sebelah barat (jalan) Malioboro itu kan ada andong-andong (yang mangkal), sempat ada kuda yang nakal mau nabrak prajurit. Mau lari itu sekaligus andongnya. Wis ngeri itu, entah kudanya takut atau gimana itu. Lha sak andonge mau lari nabrak. Untung pemiliknya sigap, kalau nggak yo wis nabrak (kami).”
Aktivis Kemasyarakatan
Pak Triyana bekerja sebagai PNS di Fakultas Kedokteran Hewan UGM sejak tahun 1988 dan pensiun TMT 1 April 2021. Ia bertugas sebagai laboran di Jurusan Anatomi selama 10 tahun dan sebagai pranata laboratorium di Departemen Patologi selama 21 tahun. Pak Triyana juga sempat 2 tahun mengurusi bagian kerumahtanggaan. Selain itu, Pak Triyana juga menjabat staf humas dan protokoler. Ia sering didapuk sebagai pembawa acara di berbagai kegiatan FKH hingga pensiun. Pekerjaannya di FKH tak bisa dibilang ringan. Ia mesti berkutat dengan bangkai binatang, formalin, peralatan laboratorium, serta melayani mahasiswa dan dosen. Namun ia menjalaninya dengan senang hati. “Namanya kerja, kalau kita nikmati, banyak sukanya. Kalau tidak kita menikmati, kan biasanya mengeluh, tetapi kalau saya, kerja itu saya nikmati.” Hingga kini ia masih terus mendapatkan mendapatkan order dari para dokter dan rumah sakit untuk membuat preparat histopatologi yang sangat dibutuhkan untuk analisis laboratorium.
Seolah tak pernah kehabisan energi, Pak Triyana pernah aktif sebagai Ketua Takmir Masjid Nurul Iman dan pernah duduk dalam kepengurusan Majelis Wakil Cabang NU Depok, Sleman. Saat ini, Pak Triyana masih aktif sebagai Wakil Ketua Ranting NU Condongcatur.
Sementara itu, di lingkungan tempat tinggalnya di bilangan Condongcatur, hari-harinya dipenuhi kegiatan kemasyarakatan. Pak Triyana mengemban amanah sebagai Ketua RT dan kemudian Ketua RW selama bertahun-tahun. Di perkampungan tersebut, perhatian sarjana AAN Natakusuman (kini STIE AAN) terhadap kebudayaan juga sama besarnya. Pak Triyana sering didapuk sebagai pembawa acara dalam Bahasa Jawa bila ada warga yang memiliki hajat. “Harapan saya, anak saya bisa meneruskan apa yang saya lakukan, tetapi kalau memang tidak, saya ingin pemuda di kampung saya ada yang meneruskan peran saya sebagai MC.”
Ingin berperan lebih dalam pengembangan budaya Jawa, Pak Triyana berencana mendirikan sanggar tari di kampungnya serta menghidupkan kembali tradisi jatilan dan karawitan yang sempat redup. “(Ini) salah satu ajakan bagi pemuda untuk mencintai budaya. Siapa lagi yang melestarikan kalau bukan kita. Apa harus menunggu budaya Indonesia yang adiluhung ini dikuasai asing?.”
Menjaga Nama Baik
Mas Bekel Sastro Danu Triyono sadar betul masyarakat menilai bahwa semua Abdi Dalem sebagai wakil keraton. Abdi Dalem dianggap tahu segala hal tentang keraton. Beban ini ia hadapi dengan cara belajar terus sehingga apabila sewaktu-waktu ada pertanyaan, misalnya terkait upacara adat, ia bisa menjelaskan. “Sedikit terbantu bila ada piket (menjaga) pameran, sebagai petugas harus belajar tentang keraton. Kita para panji, kan sudah diberi tugas piket pameran dituntut untuk bisa menjelaskan masalah di sekitar keraton.”
“Selain itu, kita harus bisa membawa diri (terkait) unggah-ungguh dan sebagainya. Itu harus kita jaga betul karena kita membawa nama keraton,” tambahnya.
Meyakini kebudayaan tradisional akan menguatkan etika dan pribadi manusia, bapak tiga anak ini berharap agar anak-anak muda melestarikan warisan leluhur, bahkan menggali lebih dalam lagi. “Silakan menggemari budaya lain, tetapi budaya kita yang adiluhung itu jangan ditinggalkan.”
“Sekarang kalau yang muda-muda nggak mau berbudaya Jawa, siapa lagi? Kan punah nanti, macapat saja kan sudah langka,” ia mengingatkan.
Berkah
Mendapat dukungan penuh dari keluarga, Mas Bekel Sastro Danu Triyono mengabdi sepenuh hati dan merasakan ketenteraman batin karenanya. “Kita kembalikan ke awal masuk itu untuk apa. Kita ingin mengabdi kepada raja, Ngarsa Dalem, agar kita mendapatkan ketenteraman hati. Nah di situ, kita akan menjalankan sesuatunya dengan ringan dan tidak berat menjalankan Dhawuh Dalem untuk acara garebeg atau acara-acara yang lain.”
Menjadi Abdi Dalem juga membawa perubahan positif dalam dirinya. Pak Triyana mengaku perilakunya lebih terjaga karena adanya keinginan untuk menjaga nama baik keraton. “Yang jelas dengan kemantapan hati, kita mengabdi ke Ngarsa Dalem dan menjadi berkah bagi saya dan keluarga.”