Nyi Raden Bekel Hamong Hadisukoco, Abdi Dalem Keparak yang Mengabdi Sepenuh Hati
Kemauan akan menemukan jalan. Adagium ini dialami secara nyata oleh Nyi Raden Bekel Hamong Hadisukoco, Abdi Dalem Keparak di Keraton Yogyakarta.
Perempuan bernama asli Maria Sukoco ini mengikuti intuisinya saat melihat seorang Abdi Dalem sepuh berbusana pranakan melintas di depan rumahnya. Bu Maria meminta kakek tersebut untuk mampir ke rumahnya dan melihat silsilah keluarga yang dia miliki. “Saya katakan, saya belum bisa membaca Bahasa (aksara) Jawa. Saya minta dibacakan.” Setelah membacanya, kakek tadi berseru bahwa Bu Maria masih terhitung keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono II. “Apa kamu mau jadi Abdi Dalem?” Sang kakek bertanya sekaligus menawari.
Nyi Raden Bekel Sepuh
Karena memang telah memiliki keinginan terpendam untuk bekerja di keraton, Bu Maria segera mengiyakan tawaran itu. Singkat cerita, kakek tersebut –yang ternyata juga masih memiliki hubungan kekerabatan-- mendaftarkannya menjadi Abdi Dalem. Tak lama setelah itu, sekitar Februari 2006, Bu Maria dinyatakan diterima sebagai anggota Kanca Keparak di bagian Dhak Lebet. Bagi Bu Maria ini adalah anugerah luar biasa, terutama bagi ibunya yang berharap agar Bu Maria bisa mengabdi di keraton sebab mereka memiliki silsilah tersebut.
Setelah diterima, Bu Maria menjalani magang selama lima tahun. “Setelah lima tahun baru diangkat menjadi Jajar,” kisahnya. Sejak magang hingga kini telah menerima kenaikan pangkat sebagai Bekel Sepuh, Bu Maria setia menjalani tugasnya.
Bertugas di Dhak Lebet Keparakan
“Saya menjadi penongsong,” tuturnya. Tugas utama penongsong adalah membawa Songsong atau payung kerajaan yang menaungi Sri Sultan dan Kanjeng Ratu saat miyos atau hadir dalam sebuah upacara adat di lingkungan keraton.
“Kalau pas Ngarsa Dalem badhe miyos, juga harus stand by. Kapan pun. (Jika Sri Sultan) pas sama Kanjeng Ratu, ya berdua (penongsong yang bertugas).” Selain penongsong ada juga Abdi Dalem Keparak yang membawa ploncon (dudukan) tempat payung diletakkan saat tidak digunakan. Bu Maria juga pernah bertugas membawakan Palenggahan Dalem (alas duduk) untuk Ngarsa Dalem dan Permaisuri.
Bertanggung jawab di Dhak Lebet, Bu Maria bersama rombongannya harus bertugas dua hari dalam seminggu. Namun, di luar dua hari itu, banyak tugas lain yang harus Bu Maria kerjakan. Perempuan kelahiran Magelang ini berkewajiban antara lain menabur bunga ke makam Imogiri setiap selapan (35 hari) sekali yang ditetapkan pada Rabu Pon. Sementara, setiap malam Selasa Wage dan Selasa Kliwon, Bu Maria membantu memasak di Ndalem Kilen (kediaman Sultan dan keluarga). Bila tugas itu tiba, sejak hari Minggu sebelumnya Bu Maria sudah menyiapkan bahan-bahan yang akan dibuat tumpeng beserta kelengkapannya, seperti gudhangan, ayam ingkung, buah, serta jajan pasar. Bu Maria membantu membuat sudi dan takir (wadah dari daun pisang) serta harus menyiapkan sesaji. Bu Maria diandalkan untuk meracik berbagai ragam bunga dalam sajen-sajen tertentu karena memang tak banyak bisa melakukannya.
Akhir bulan Rejeb (Rajab) hingga awal Ruwah (Syakban) menjadi waktu yang sibuk bagi Bu Maria. Pada bulan ini semua Kanca Keparak terlibat dalam upacara Peksi Burak, yakni peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Keesokan harinya dilanjutkan prosesi pembuatan apem dan mempersiapkan ubarampe lain untuk rangkaian peringatan Tingalan Jumenengan Dalem (Ulang Tahun Kenaikan Takhta), yang keseluruhannya berlangsung selama empat hari. Ini masih ditambah ziarah ke berbagai makam keraton yang juga memakan waktu empat hari. “Setiap Ruwah itu saya nyekar ke makam Kotagedhe, Imogiri, Kulon Progo, Godean, dan Sedayu. Pokoknya hampir empat hari. Pokoknya semua trah dari sini,” tuturnya.
Beberapa tahun terakhir, dalam prosesi pembuatan apem, Bu Maria ditugaskan untuk membagikan konsumsi bagi tenaga yang terlibat. Sementara, dalam penyelanggaraan Hajad Dalem lainnya, Bu Maria berkewajiban melayani Kanjeng Ratu saat miyos. Terkadang ada pula panggilan dari keraton yang sifatnya tak tentu. Bu Maria selalu dengan senang hati memenuhinya.
Perjuangan Hidup
Bu Maria adalah potret perjuangan hidup yang tak kenal menyerah. Setelah menikah, Bu Maria mengikuti suaminya –yang waktu itu masih guru honorer—ke Timor Timur. Saat itu Bu Maria bertani, berjualan sayur dan pakaian untuk menyambung hidup. Gejolak politik membuat mereka kembali lalu ditempatkan di Panggang, Gunungkidul.
Hingga sekarang Bu Maria masih tinggal di sana. Ketika diangkat menjadi Abdi Dalem, Bu Maria harus menumpang berbagai moda transportasi untuk berangkat ke keraton. Setelah berjalan kaki hingga jalan besar, Bu Maria naik bus atau menumpang bak truk yang mengangkut sayur atau hewan menuju kota. Sesampainya di kota, Bu Maria masih harus berganti bus dua kali. Namun, Bu Maria tak pernah mengeluhkannya. Dua tahun belakangan, Bu Maria memiliki motor yang dikendarai jauh dari Panggang menuju keraton.
“Kalau setiap hari ikut truk, naiknya saja sudah susah. Kadang ada, kadang enggak. Maaf, saya blak-blakan saja. Saya berutang saja untuk membeli gledhekan walaupun seadanya. Untuk menyambung langkah.”
Bu Maria mengaku tidak memiliki pekerjaan lain. Di rumah, kesibukannya adalah mengurus keluarga dan mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan seperti gotong royong, PKK, hingga seni karawitan. Semenjak berpisah dengan suami, Bu Maria merasa rezekinya selalu dimudahkan. Bu Maria juga berhasil membesarkan ketiga anaknya seorang diri. “Sejak saya masuk jadi Abdi Dalem, rezeki itu lancar. Walaupun entah dari mana. Kok ya ndilalah (di luar perkiraan) kita punya pisang kok laku. Ndilalah selalu ada. Saya hidup sendiri. Alhamdulillah cukup.”
Menurutnya ada berkah yang membuat hidupnya tenteram dan berkecukupan. Selain itu, Bu Maria juga merasa senang setiap kali berada di keraton. “Sampai sini seneng. Bertemu teman, curhat-curhat, share pengalaman. Terus malah banyak saudara jadinya.”
Bu Maria juga merasa hidupnya lebih baik setelah mengabdi di keraton, “Sebelum jadi Abdi Dalem itu memang pikirannya itu macem-macem. Banyak menderitanya. Banyak susahnya. Pokoknya ada saja yang namanya ujian. Tetapi setelah saya masuk jadi Abdi Dalem, saya merasa senang. Lega. Pokoknya apa-apa mudah. Cari apa-apa mudah.”
Nilai-nilai dari Keraton
“Yang pertama sabar,” ujarnya mengenai hikmah yang Bu Maria dapatkan selama bekerja di keraton, “Soalnya kan namanya di sini ada orang banyak. Kalau hati nggak sabar, malah emosi sendiri. Jadinya ya, cuma sabar, niat ingsun, saya di sini mengikuti Ngarsa Dalem. Mengabdi. Minta pengayoman, ketenteraman. Sudah.”
Nilai lain yang Bu Maria dapatkan adalah pentingnya bersikap jujurdan semeleh (berserah). “Ya. Semeleh. Selama saya pulang dari sini juga tidak kemrungsung mau ini itu. Pulang ya pulang, tidur, istirahat.”
Bagi Bu Maria, pengabdian dimaknai sebagai jalan meraih harapan. “Saya mengabdi di sini, saya berharap anak cucu saya meraih cita-cita mereka. Diberi kesehatan, tenteram, damai, keluarga diberi langgeng, lancar rezeki. Semoga anak cucu saya juga bisa meneruskan saya (menjadi Abdi Dalem),” tuturnya sambil tertawa. Sementara, untuk generasi mendatang Bu Maria berharap mereka mengetahui adat keraton dan ikut andil melestarikan budaya.
PERISTIWA POPULER
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas