KRT Kusumonegoro, Pelestari Benda Pusaka dan Cagar Budaya
Sebagai cagar budaya, bangunan keraton dan artefak di dalamnya mutlak dipelihara sebagai upaya merawat sejarah bangsa. Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Kusumonegoro menjadi salah satu Abdi Dalem yang setia menjalankan tugas penting tersebut. Bergabung dengan keraton sejak dua puluh tahun lalu, saat ini beliau menjabat sebagai Penghageng II Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Wahana Sarta Kriya yang bertanggung jawab atas pemeliharaan infrastruktur keraton, seperti bangunan dan kendaraan, termasuk kereta pusaka.
Ketertarikan RM Enggar Pikantoyo, nama asli KRT Kusumonegoro, pada keraton dan budaya Jawa ditularkan oleh pamannya, KRT Hastononegoro, yang setiap bulan Sura (Muharram) menerima jasa merawat dan membersihkan (jamasan) benda pusaka di rumah beliau. “Masyarakat umum yang punya pusaka tosan aji menitipkan untuk dijamasi,” Kanjeng Kusumo –demikian beliau bisa dipanggil—mengisahkan. Pada bulan pertama tahun Jawa tersebut, ritual jamasan pusaka memang lazim diadakan untuk merawat senjata dan benda-benda yang dianggap berharga. Enggar muda sering membantu sang paman hingga lama-lama tumbuhlah kecintaan pada senjata pusaka.
Dilandasi rasa sayang kepada keraton dan pusakanya yang saat itu belum sepenuhnya dirawat dengan benar, sang paman akhirnya mengusulkan kepada keraton agar membentuk tim Abdi Dalem khusus untuk merawat pusaka. “Abdi Dalem yang menguasai metode siraman yang baik dan benar itu makin sedikit sehingga proses siraman menjadi tidak sesuai yang diharapkan,” ungkap Kanjeng Kusumo.
Usul tersebut diterima, dan pada tahun 2000 dibentuklah bebadan baru yang disebut kanca pusaka di bawah Kawedanan Hageng Sri Wandawa. Kanjeng Kusumo masuk di dalamnya, saat itu beliau memperoleh nama Paring Dalem, Raden Wedana Purwokanowo. Beranggotakan sepuluh orang, kanca pusaka bertugas menjamasi dan menginventarisasi pusaka-pusaka keraton secara bergiliran setiap Selasa Kliwon. Khusus untuk pusaka utama, jamasan dilakukan pada bulan Sura.
Kanjeng Kusumo mengingat saat paling berkesan sebagai Abdi Dalem adalah ketika pertama kali masuk ke Gedhong Prabayeksa. “Sangat terasa sekali bagaimana saya seorang awam bisa jadi Abdi Dalem dan masuk ke sebuah bangunan yang sangat disakralkan di keraton yaitu Gedhong Prabayeksa. Keagungan keraton itu benar-benar saya rasakan,” kenangnya.
KHP Wahana Sarta Kriya
Tiga tahun merawat pusaka, Kanjeng Kusumo dipindahtugaskan (liyer) ke KHP Wahana Sarta Kriya dengan jabatan pertama sebagai carik. Kawedanan ini menaungi Abdi Dalem yang bertugas memelihara bangunan fisik keraton, seperti kemitbumi (tenaga domestik), kanca mergangsa (tukang dan pandai besi), kanca taman (juru kebun), kanca rata (pemelihara kereta kuda), kanca wimana (pengemudi), kanca ambar (penjaga Pesanggarahan Ambarukmo), kanca binangun (penjaga Pesanggarahan Ambarbinangun), kanca ngeksi (penjaga Pesanggarahan Ngeksigondo) dan kanca parang (penjaga Pesanggrahan di Parang Wedang dan Parangtritis).
Tak hanya bertanggung jawab atas bangunan di keraton, KHP Wahana Sarta Kriya juga mengurusi pesanggrahan seperti Pesanggrahan Ngeksigondo, Ambarrukmo dan Ambarbinangun. Selain itu, kawedanan ini terlibat dalam pengawasan revonasi besar bangunan-bangunan utama, misalnya rehabilitasi Bangsal Kencana, Bangsal Prabayeksa, dan Bangsal Manis.
Pekerjaan yang bersangkutan dengan fisik bangunan keraton tidak bisa dilakukan sembarangan. Karena mengandung unsur historis dan filosofis mendalam, diperlukan keterampilan dan pengetahuan khusus terkait sejarah, budaya, serta arsitektur.
“Keraton sebagai pusat budaya wajib dipepetri, diuri-uri, dilestarikan, dikembangkan dan dipertahankan. Termasuk di dalamnya adalah infrastruktur. Memelihara infrastruktur keraton membutuhkan keahlian khusus, terutama yang berkaitan dengan fisik bangunan (karena harus) tetap mengutamakan prinsip pelestarian,” ujar Kanjeng Kusumo.
Selain mengurusi bangunan keraton, Kanjeng Kusumo juga rutin mengisi pawiyatan (pembelajaran) bagi Abdi Dalem lain terkait filosofi keraton.
Tidak ada tugas berat bagi Kanjeng Kusumo yang setiap hari bekerja di keraton. Menjalani kewajiban berdasarkan kecintaan dan pengabdian, beliau tak pernah merasakan hal-hal negatif terkait pekerjaan. “Adanya suka. Karena dasarnya (saya) suka budaya dan sejarah.”
Baginya, keraton adalah sumber ilmu tak terbatas karena memiliki koleksi literasi lengkap tentang sejarah dan budaya. “Keraton itu sendiri sebuah ‘buku’ yang masih bisa kita saksikan dan kita pelajari hingga saat ini. Saya belajar di sini tanpa SPP, (Saya) dapat keuntungan yang berlipat-lipat.”
Tumbuh di lingkungan yang dekat dengan keluarga keraton, ayah berputra satu ini tidak merasakan perbedaan besar setelah menjadi Abdi Dalem. “Yang saya rasakan adalah luwih isa ngrasakke. Artinya rasa itu harus lebih dipertajam.”
Tosan Aji
Di luar keraton, pria yang masih terhitung sebagai cicit Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini masih menggeluti hobinya di bidang tosan aji atau senjata tradisional dari besi berpamor. Beliau tergabung dalam komunitas pecinta tosan aji, Pametri Wiji (Paheman Memetri Wesi Aji). Di komunitas yang terbentuk pada tahun 1983 ini, Kanjeng Kusumo bertindak sebagai Ketua Harian. Mereka banyak mengadakan kegiatan terkait senjata tradisional tersebut, seperti sarasehan, kajian, dan pameran, termasuk pameran tahunan di kompleks Bangsal Sitihinggil.
“Tosan aji sebagai benda budaya peninggalan leluhur merupakan artefak yang perlu dirawat, dibersihkan, dijamasi dengan baik dan benar sehingga keberadaannya tetap lestari,” ujarnya. Lebih lanjut secara filosofis merawat senjata tradisional seperti keris, tombak, maupun pedang mendatangkan sipat kandel, merawat jiwa pemilik, dan mengingatkan untuk selalu teliti serta hati-hati.
Prosesi siraman tosan aji itu sendiri merupakan tradisi yang harus dilestarikan. Secara umum, pusaka dibersihkan mengunakan air jeruk nipis untuk menghilangkan minyak dan kotoran yang menempel. Setelah itu pusaka diolesi berkali-kali dengan warangan untuk mencegah karat dan ditutup dengan pembaluran minyak kelapa serta minyak cendana.
Menurut Kanjeng Kusumo tidak ada perbedaan antara perawatan pusaka keraton dan pusaka yang dimiliki masyarakat umum. “Kalau ada yang berbeda hanya pada rangkaian prosesi atau sesaji saja. Di keraton, menggunakan sesaji lengkap, sedang di masyarakat masing-masing orang berbeda, tergantung pemilik pusaka.”
Memberi Manfaat untuk Masyarakat
Kanjeng Kusumo nyaris tidak pernah memiliki keinginan untuk menjalani profesi tertentu. “Saya ingat betul waktu kecil saya ingin jadi pilot. Setelah itu saya tidak lagi memiliki cita-cita, tetapi yang jelas saya ingin bermanfaat bagi sesama. Sekarang apakah saya bermanfaat bagi masyarakat, saya tidak tahu karena masyarakat yang menilai saya bermanfaat atau tidak.”
Beliau berprinsip mata boleh melihat, telinga boleh mendengar, namun mulut harus terkunci. Maksudnya, apa yang kita lihat dan dengar tidak perlu dibuka semua. “Kita harus berhati-hati dalam segala lisan dan tindakan kita,” lanjutnya.
Kanjeng Kusumo juga berpendapat bahwa untuk memajukan Indonesia agar bisa sejajar dengan negara-negara lain adalah dengan menggali, membedah, dan mengembangkan budaya. Inilah yang menurutnya harus dilakukan oleh kaum muda, “Tidak masalah kaum muda mendalami teknologi. Justru dengan teknologi itu kita bisa mengenalkan budaya Jawa nusantara ini untuk kepada masyarakat luar,” pungkasnya.
PERISTIWA POPULER
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas