KRT Purwodiningrat, Maestro Seni dan Pengabdi Budaya Keraton Yogyakarta
Nyaris sepanjang hidupnya, KRT Purwodiningrat mengabdi kepada kebudayaan Jawa. Sebagai cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari garis ibu dan keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono VI dari garis ayah, adat istiadat keraton sudah mendarah daging dalam dirinya.
Setelah pensiun sebagai PNS di Balai Penelitian Bahasa, ayah empat anak ini memilih terus memberi manfaat kepada masyarakat luas lewat keraton. Mengikuti jejak ayahnya yang juga Abdi Dalem, beliau mendaftar Abdi Dalem di KHP Kridhomardowo. Di departemen kesenian keraton ini, beliau aktif menghidupkan tari dan karawitan yang memang menjadi keahliannya. Namun, tak lama kemudian, beliau diminta untuk menjadi Penghageng kalih –wakil kepala– Widyabudaya yang mengurusi upacara adat keraton seperti seperti Labuhan, Garebeg dan Siraman Pusaka.
“Ditarik ke sini (Widyabudaya) karena saya juga menyukai bahasa dan kebudayaan,” tuturnya. Demikianlah, keserbabisaan membuat Kanjeng Purwo dibutuhkan di berbagai bidang.
“Sekarang Widyabudaya sudah bagus kerjanya, sudah berjalan sendiri, sudah tahu sendiri tugasnya, misalnya kalau Garebeg ini (yang disiapkan),” jelasnya. Jadwal rapi menjadi kunci matangnya persiapan upacara selain tim yang memang sudah memahami apa yang harus mereka kerjakan.
Kanjeng Purwo mengaku tidak pernah mendapat kesulitan berarti dalam menjalankan tugas. Bekal aturan dan unggah-ungguh di lingkungan keraton telah beliau dapatkan sejak kecil dari orang tuanya.
Transliterasi Naskah-Naskah Kuno
Kini, selain mengkoordinasi penyelenggaraan upacara adat, Kanjeng Purwo juga menggarap transliterasi atau pengalihaksaraan naskah-naskah kuno keraton dari aksara Jawa ke abjad latin. Ini merupakan upaya penting agar kekayaan sastra tersebut dapat dipelajari oleh khalayak luas yang rata-rata tidak familiar dengan aksara Jawa. Sekitar empat naskah telah beliau selesaikan dan dicetak.
“Kalau sudah alih aksara, akan dialih bahasa. Untuk menolong yang tidak bisa berbahasa Jawa. Karena ini isinya tembang (Jawa),” tuturnya. Lebih jauh, beliau menjelaskan naskah-naskah yang dialih aksarakan memuat tembang macapat dari segala jenis, misalnya sinom, dhandhanggula, pangkur, megatruh dan lain sebagainya.
Duta Budaya Sejak Muda
Meski secara resmi Kanjeng Purwo menjadi Abdi Dalem pada 2007, keterlibatannya dalam pengembangan kebudayaan keraton telah bermula jauh sebelum itu. Sejak muda beliau aktif menari dan ngrawit –memainkan gamelan—untuk acara-acara keraton. Kepiawaiannya dalam dua bidang tersebut membawanya keliling dunia. Sekitar tahun 70-an, beliau bersama tim kesenian dari keraton pentas di China, Inggris, Jerman, Italia, Belgia, Hongkong dan Jepang. Kanjeng Purwo mengenang misi itu sebagai peristiwa yang sangat berkesan, “Apa-apa baru, disediakan makanan, dikasih uang. Koper baru, jarik, iket baru. Di sana hotelnya bagus. Diberi gaji. Itu yang paling berkesan.” Tim duta budaya ini menjalankan perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengibarkan seni klasik Yogyakarta ke pentas dunia. “Yang didhawuhi Ngarsa Dalem IX itu Siswa Among Beksa.”
Siswa Among Beksa merupakan salah satu perguruan tari klasik di luar tembok keraton. Kanjeng Purwo aktif menjadi pengurus semenjak perguruan itu berdiri pada 1952. Lokasi perguruan ini pun terletak di kompleks Ndalem Kaneman, Jl. Kadipaten, yang merupakan kediaman Kanjeng Purwo. Namun, pada 2007 beliau memilih undur dari kepengurusan untuk memberi kesempatan pada penerus yang lebih muda.
Namun, kiprahnya di dunia seni tak surut. Hingga di usianya yang ke-80 tahun ini, beliau tetap menjadi tempat rujukan bertanya bagi para mahasiswa seni. Beliau juga masih menjadi dosen luar biasa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan karawitan, khususnya keahlian ‘tabuh satu’ (instrumen yang ditabuh seperti saron, bonang, dan sebagainya).
“Saya sering ngladeni mahasiswa ISI kalau mau penelitian atau ujian S1, S2, S3. Saya sering disuruh menguji. (Sekarang) saya disuruh tidak perlu datang. Murid yang ke tempat saya.”
Melestarikan Seni Tradisional
Darah seni memang mengalir dalam diri Kanjeng Purwo. Kecintaan pada tari menurun dari sang ibu yang juga penari keraton. Sementara bakat memainkan gamelan rupanya beliau dapatkan dari kakeknya KRT Wiroguno yang merupakan empu karawitan Yogyakarta.
Tak terhitung banyaknya pertunjukan yang beliau jalani, juga banyaknya penghargaan yang beliau terima. Berkali-kali pula beliau menjadi juri lomba karawitan hingga lupa berapa persisnya. Namun, Kanjeng Purwo ingat setidaknya tiga kali dinobatkan sebagai pemain kendang terbaik dalam Festival Sendratari.
Kini, setelah tak lagi pentas di atas panggung, Kanjeng Purwo meneruskan pelestarian budaya lewat keraton. Nyaris setiap hari beliau berangkat bekerja. Selain menunaikan tugas pokoknya, beliau melayani pertanyaan pengunjung serta memberi materi gendhing kepada para pengrawit. Lewat cara-cara seperti inilah beliau membagikan ilmu dan wawasan yang dimiliki.
Dukungan keluarga sangat besar bagi kiprahnya. Anak tertuanya dan salah satu cucunya bahkan mengikuti jejaknya menjadi Abdi Dalem. Bekerja di keraton beliau akui menjadi cara untuk hidup sehat, “Tidak bengong, ada yang dikerjakan, tidak nganggur, menghambat kepikunan karena dipaksa berpikir. Batin (saya) semeleh, tidak kemrungusung.”
PERISTIWA POPULER
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas