KPH Notonegoro, Pengusung Kebudayaan Keraton ke Panggung Dunia
- 29-09-2020
Muda, cerdas, berintegritas, dan berwawasan internasional. Sosok Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro seolah mewakili citra generasi Keraton Yogyakarta saat ini. Jabatan Penghageng KHP Kridhomardowo sungguh pas disandang oleh suami Gusti Kanjeng Ratu Hayu ini. Selain memiliki kecintaan besar terhadap budaya tradisional, beliau juga menguasai manajemen modern yang mampu mengangkat divisi kebudayaan keraton tersebut ke tataran internasional.
Memimpin Kridhomardowo sejak Juni 2018, Kanjeng Noto –begitu beliau akrab disapa-- langsung melesatkan tari klasik, gendhing, hingga wayang wong keraton ke atas panggung kepopuleran. Seni adiluhung yang sebelumnya tak begitu dilirik, kini dibanjiri penonton dalam setiap pementasan offline maupun online. Media-media baru seperti vlog, flashmob, dan streaming yang dahulu jarang dipakai untuk mengemas pertunjukan kini benar-benar dieksplorasi oleh Kanjeng Noto bersama tim Kridhomardowo. Ini bermula dari gagasan beliau untuk membuat branding atas kekayaan budaya keraton agar dipahami dan diminati segala kalangan.
Kesenian sebagai Pengungkit
Sebagai divisi pengembangan kebudayaan, Kridhomardowo mencakup bidang yang sangat luas, mulai dari tari, karawitan, kagunan (busana), kemasan (kerajinan logam), batik, bludir (sulam), musikan (musik) dan masih banyak lagi. Kawedanan ini juga mengelola empat sekolah seni dan mengatur seluruh pertunjukan istana. “Setiap hari ada urusan, jadwalnya penuh. Belum lagi sekarang ini saya mintanya profesionalisme. Kalau (mau) tampil harus siap meluangkan waktu untuk menampilkan yang terbaik,” tutur lulusan Hubungan Internasional UGM ini.
Semenjak dipimpin oleh Kanjeng Noto, Kridhomardowo memang banyak berubah. Profesionalisme dan kedisiplinan diutamakan. Promosi pun digarap serius dan kekinian. Kanjeng Noto menuntut semua pertunjukan untuk memenuhi standar internasional. Tak heran, banyak anak muda kini terpikat kembali pada kesenian klasik. Salah satu pertunjukan yang fenomenal dan mendobrak adalah flashmob Beksan Wanara di Malioboro yang kemudian viral di dunia maya. Ini diakuinya sebagai salah satu momen yang paling berkesan selama berkecimpung di Kridhomardowo.
Pementasan yang juga spesial baginya saat pertunjukan tari Catur Sagatra. “Begitu wanara-wanara keluar, wah merinding. Begitu kita selesai, orang-orang yang mau berfoto dengan kapi-kapi itu kayak orang lihat boyband Korea.” Beliau terharu lantaran setelah itu Kridhomardowo mulai terkenal. “Sebelumnya orang hanya tahu keraton, nama Kridhomardowo tidak banyak yang tahu.”
Di bawah manajemennya, kawedanan ini mengukir prestasi dalam Festival Keraton Nusantara 2019 di Luwu, Sulawesi Selatan. Pentas di luar negeri pun kerap dijalani. Habirandha –sekolah dalang keraton—yang biasanya hanya menerima 25-30 siswa, tahun ini menerima 75 siswa. Demikian juga dengan jumlah peserta yang ikut menari di kasatriyan setiap hari minggu. “Memang kalau bicara data, kelihatan (peningkatannya),” jelasnya.
Menyiapkan karya bermutu tentu lebih rumit dan memakan waktu, bahkan melibatkan riset yang tidak mudah. “Tapi kalau mau bagus harus seperti itu.” Bagi Kanjeng Noto, kesenian yang dipopulerkan keraton laksana batu yang dilempar ke dalam kolam dan menimbulkan gelombang besar di seluruh penjuru. Setelah Kridhomardowo bergiat, sanggar-sanggar dan sekolah seni kembali hidup dan diburu. Warga menyadari tarian tradisional tak kalah bergengsi. Industri-industri terkait juga menggeliat dan kesejahteraan masyarakat –paling tidak para pelakunya— meningkat. Beliau menyatakan kini para penari Kridhomardowo sering mendapat permintaan untuk mengajar, bahkan dari daerah lain. Ini sesuai dengan tujuan Kanjeng Noto; kesenian Yogyakarta mampu menggerakkan ekonomi warganya.
Pemuda yang Mendunia
Sebagi putra anggota TNI, Raden Mas Angger Pribadi Wibowo –demikian asma timur KPH Notonegoro— menghabiskan masa kanak-kanak hingga remaja berpindah-pindah, namun cita-citanya tak pernah berubah; berkarier di PBB. Impian tersebut tercapai pada 2006 setelah ia meraih gelar Master of Art in Economic dari Washington State University bidang International Development. Ia bergabung dengan UNDP dan langsung ditugaskan untuk menangani pemulihan pascabencana di Aceh yang baru saja dilanda tsunami, disusul penugasan ke Klaten dan Yogyakarta pascagempa besar yang sempat melumpuhkan daerah itu. Tahun 2012, laki-laki yang berpembawaan ramah ini ditarik ke markas pusat UNDP di New York. Dari sana ia dikirim ke berbagai negara sebagai spesialis manajemen resiko untuk menanggulangi krisis.
Setelah menikah pada 2013, beliau dan Gusti Hayu menetap di New York selama dua tahun lalu pindah tugas ke Samoa di Kepulauan Pasifik. Diakuinya, pada sebagian besar waktu mereka berjauhan karena tugas keduanya menuntut demikian. Namun, pasangan yang sama-sama visioner serta piawai dalam teknologi informasi ini selalu saling mendukung dan mandiri.
Transformasi ke Profesionalisme
Bagi ayah berputra satu ini tantangan terbesar dalam mengelola Kridhomardowo adalah mengubah pola-pola pikir lama yang mengandalkan senioritas dan regenerasi konvensional menjadi manajemen modern yang mengutamakan kompetensi. “Zaman dulu yang menabuh (gamelan) tergantung siapa yang sepuh, sekarang tidak bisa lagi.” Kebijaksanaan sangat dibutuhkan untuk meredakan ketegangan yang pasti timbul. Salah satunya dengan menetapkan ayahan Abdi Dalem sesuai kemampuan, misalnya Abdi Dalem senior ditugasi sebagai pengawas alih-alih pelaksana kegiatan yang membutuhkan fisik kuat.
Dengan manajemen baru, Kridhomardowo sanggup memikat hati Abdi Dalem milenial. “Menjadi Abdi Dalem tidak mudah buat milenial kalau manajerialnya masih kuno di mana anak muda pangkat paling rendah tidak diberi kesempatan apa-apa.” Peluang ekspresi juga beliau buka luas. “Ini akan menjadi tantangan. Bisa tidak sih berinovasi di kesenian klasik?“ Menurutnya seni klasik pun harus berkembang agar tidak punah. Itulah mengapa Kanjeng Noto dan tim tak segan-segan mengeksplorasi hal-hal baru, mulai dari penciptaan karya hingga penggunaan media mutakhir, meski terkadang menimbulkan pro dan kontra.
Pembangun Masyarakat Desa
Di luar keraton, Kanjeng Noto menjabat sebagai Ketua DPD I LPM DIY. “Ini lebih kepada keinginan saya supaya masyarakat desa itu lebih paham bagaimana merencanakan dan melaksakan pembangunan di desanya sendiri dengan efektif.” Kanjeng Noto menyoroti dana yang terkucur ke desa-desa saat ini relatif sudah cukup besar namun pemanfaatanya belum bisa maksimal karena keterbatasan sumber daya manusianya. Selain itu, mulai tahun ini beliau juga duduk dalam Dewan Kebudayaan sebagai Koordinator Komite Dewan Pertimbangan Kebudayaan Tak Benda. Kesibukannya jelas bertambah, tetapi Kanjeng Noto merasa tenang karena sistem yang dibangun di keraton sudah mulai terbentuk. “Saya tinggal supervisi saja. Tahun lalu masih saya tunggui. Tahun ini sudah lumayan (berjalan baik).”
Kini KPH Notonegoro nyaris tak punya waktu untuk menjalankan hobinya seperti bermain gim, menyanyi, membaca fiksi fantasi atau menyelam. Untuk menyegarkan diri paling-paling hanya menonton anime dalam waktu singkat. Namun, waktu untuk keluarga tak pernah beliau lewatkan. Jam enam hingga jam tujuh pagi biasanya beliau isi dengan berjalan-jalan bersama putra kecilnya. Terkadang Kanjeng Noto pun mengajak sang putra ke keraton untuk menyaksikan ayahnya bekerja sekaligus menanamkan kecintaan pada kebudayaan. Beliau pun mendorong rekan-rekan Abdi Dalem untuk melakukan hal serupa, “Kalau kita ingin lumintu, saat kanca-kanca itu sowan, (sebaiknya) anaknya juga diajak sowan.”
Sri Sultan sebagai Motivator
Sudah menjadi kebiasaan bagi Kanjeng Noto untuk sarapan bersama Sri Sultan. Baginya, Ngarsa Dalem adalah pemberi semangat, terutama dalam keadaan pelik. Beberapa kali, katanya, Ngarsa Dalem sudah pirsa sebelum Kanjeng Noto sempat mencurahkan permasalahan. Sri Sultan selalu membesarkan hatinya. Menurut beliau pro kontra sudah jamak mengiringi perubahan. “Ya tidak apa-apa. Maju terus,” sabda Ngarsa Dalem. Beliau mengutip kisah Sri Sultan HB IX yang ditentang banyak pihak saat meminjamkan sebagian bangunan keraton untuk kegiatan perkuliahan pada awal berdirinya UGM. “Kalau waktu itu Ngarsa Dalem ke IX tidak maju terus, kita tidak punya Gadjah Mada.” Demikian Kanjeng Noto mengutip petuah ayah mertua.
Pesan Ngarsa Dalem yang selalu diingat oleh Kanjeng Noto adalah pentingnya membangun karakter manusia yang bermartabat. “Ini pesan dari Ngarsa Dalem. Jadi (kalau) kamu membina penari-penari muda itu, jangan hanya (membina) kemampuan tarinya. Tapi karakternya juga.” Inilah yang sedang dikerjakan oleh Kanjeng Noto, dan hasilnya sudah terlihat pada kedisiplinan dan dedikasi para penari yang terbiasa berlatih di keraton.
Visi untuk Kridhomardowo
“Saya maunya Kridhomardowo itu bisa menginternasional.” Kanjeng Noto yakin tari Bedhaya, Trunajaya, dan lain sebagainya dapat menjadi brand bila digarap serius. “Bedhaya itu saja sudah bisa menjadi branding. Orang yang paham, akan suka, dan minta untuk menyaksikan. Maunya saya gitu. Tapi itu butuh waktu.” Bila reputasi sudah terbangun Kanjeng Noto berharap tak hanya keraton yang akan memenuhi permintaan. “Sanggar-sanggar, institusi akademis kan tetap bisa ngladosi.” Untuk itu, selama tahun pertama ini beliau terus melakukan pembenahan internal dan mendorong promosi serta partnership dengan pusat-pusat kesenian kelas dunia.
Sementara untuk generasi muda KPH Notonegoro menyimpan harapan agar mereka fokus terhadap martabat manusia. “Itu berarti memiliki integritas dan moral yang bagus. Kalau orang dulu itu pengin dibilang sebagai wong sugih, wong penting, wong gede, sekarang harusnya, kepingin dibilang.. ‘oh kae wong apik.’” Selain itu, beliau mengajak untuk bersama-sama kembali menengok budaya warisan nenek moyang, bukan dari sisi keseniannya semata, tapi terutama dari tata nilainya. “Kalau kita (Kridhomardowo) bikin vlog itu sebenarnya lebih mempromosikan values, menunjukan tata krama, trapsila subasita keraton, bagaimana bertutur kata dan bagaimana kita bersikap yang kekinian, tapi esensinya (tetap luhur).”