Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta
- 02-04-2018
Bangsal Kepatihan, sekarang Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Kasultanan Yogyakarta merupakan kerajaan yang meneruskan gaya pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Salah satu ciri utamanya adalah keberadaan patih atau juga dikenal sebagai Pepatih Dalem, sebuah jabatan kerajaan setingkat perdana menteri. Patih Kesultanan Yogyakarta memakai gelar Danureja dan berkedudukan di sebuah wilayah yang disebut Kepatihan.
Kasultanan Yogyakarta berdiri berdasarkan Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Oleh karenanya Kasultanan Yogyakarta pun meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh Kerajaan Mataram sebelumnya. Sebelum dikukuhkan sebagai raja, Sultan harus menandatangani kontrak politik dengan pihak pemerintah kolonial. Salah satu bagian dari kontrak tersebut mengatur keberadaan patih. Selain sebagai pembantu Sultan, Pepatih Dalem juga menjalankan fungsi sebagai penghubung kesultanan dengan pihak pemerintah kolonial.
Berikut adalah patih-patih yang pernah menjabat sebagai Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta;
Kanjeng Raden Adipati Danureja I (13 Februari 1755-19 Agustus 1799)
Pada masa mudanya, beliau bernama Raden Bagus Konting Mertowijoyo. Beliau adalah putera dari Kiai Raden Adipati Yudonegoro II, Bupati Banyumas. Semenjak kecil beliau sudah dikirim oleh ayahandanya untuk mengabdi di Keraton Kartasura, Mataram. Di sini pula beliau menjadi teman akrab dari Raden Mas Sudjono atau Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I.
Kesetiaan beliau pada Pangeran Mangkubumi dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam perjuangan Pangeran Mangkubumi melawan VOC. Beliau kemudian menggantikan ayahnya sebagai Bupati Banyumas dengan gelar Kiai Raden Adipati Yudonegoro III.
Setelah perang berakhir dan Pangeran Mangkubumi resmi menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, Kiai Raden Adipati Yudonegoro III dipilih menjadi Pepatih Dalem dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Danureja I.
Patih Danureja I nampaknya dapat membantu Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan sangat baik. Gubernur VOC saat itu, Hartingh, menyebutkan bahwa Patih Danureja I yang mendampingi Sri Sultan bagai keris dan warangka (sarung keris) yang bersatu memimpin Kesultanan Yogyakarta.
Beliau menjabat dari 13 Februari 1755 sampai dengan meninggal, 19 Agustus 1799.
Kanjeng Raden Adipati Danureja II (9 September 1799-28 Oktober 1811)
Sebelum bergelar Kanjeng Raden Adipati Danureja II, beliau bergelar Tumenggung Mertonegoro. Beliau merupakan cucu dari Kanjeng Raden Adipati Danureja I. Berbeda dengan kakeknya, beliau terkenal sangat dekat dengan pihak kolonial Belanda. Kedekatan beliau bertolak belakang dengan Sultan Yogyakarta waktu itu, Sri Sultan Hamengku Buwono II, yang sangat keras menentang Belanda. Beliau sendiri adalah menantu Sri Sultan Hamengku Buwono II, karena menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Hangger, putri dari garwa padmi Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton.
Van den Berg, Residen Yogya kala itu, mencatat Danureja II sebagai sosok yang jelek kinerjanya, karena lebih disibukkan dengan upayanya menaikkan derajat dirinya dibandingkan menjalankan tugasnya sebagai patih.
Sri Sultan Hamengku Buwono II kemudian melengserkan beliau dan menunjuk Pangeran Notodiningrat sebagai penggantinya. Pada tahun 1810, Daendels mencopot jabatan patih dari Pangeran Notodiningrat dan mengembalikan posisi jabatan patih kepada Danureja II. Namun secara sosial beliau sudah direndahkan di keraton, beliau tidak diizinkan melakukan sungkem pada hari raya Idul Fitri.
Masa jabatan beliau yang berlangsung semenjak 9 September 1799 usai pada 28 Oktober 1811 ketika ia dibunuh atas perintah Sultan HB II. Kepada pemerintah Belanda, dilaporkan bahwa Danurejo II berhenti menjadi patih karena dipecat. Karena meninggal di keraton, beliau juga dikenal dengan sebutan Patih Seda Kedhaton.
Kiai Adipati Danurejo (Tumenggung Sindunegara) (7 November 1811-2 Desember 1813)
Ketika Patih Danurejo II meninggal dunia, Sri Sultan Hamengku Buwono II menunjuk Tumenggung Sindunegara sebagai wakil patih tanpa sepengetahuan pihak pemerintah Belanda. Hal ini bertentangan dengan kontrak politik yang dibuat oleh pemerintah Belanda.
Tumenggung Sindunegara dulunya bernama Mas Riya Mendura. Beliau adalah putra dari Raden Tumenggung Yudanegara III (Patih Danurejo I). Hingga akhir masa jabatannya, beliau tidak pernah secara resmi mendapatkan gelar Raden Adipati. Tetapi karena pada masa itu beliaulah yang bertindak sebagai patih, maka beliau sering disebut sebagai Kiai Adipati. Masa bertugas beliau berakhir pada 2 Desember 1813. Beliau pensiun dengan nama Kiai Adipati Purwa.
Kanjeng Raden Adipati Danurejo III (2 Desember 1813 - 22 Februari 1847)
Nama kecil beliau adalah Pangeran Joko Hadiyosodiningrat, atau dikenal juga sebagai Sumodipuro, Bupati Japan (Majakerta). Selain itu beliau juga dikenal dengan nama Raden Joyosentiko. Beliau menggantikan posisi menjadi patih pada tanggal 2 Desember 1813.
Beliau menjadi patih pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IV yang naik takhta pada usia 10 tahun. Danurejo III menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Sasi, putri Sri Sultan Hamengku Buwono II dan Gusti Kanjeng Ratu Kencono Wulan. Salah seorang anaknya, Gusti Kanjeng Ratu Kencono, menikah dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Hasil pernikahan ini melahirkan GRM. Menol yang nantinya dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono V saat masih berusia tiga tahun.
Dalam perjalanannya, Patih Danurejo III condong setia kepada pihak Belanda dan menggunakan kekuasaannya secara berlebihan. Beliau justru menyerahkan pajak pengarem-arem kepada pemerintah kolonial Belanda, padahal pajak tersebut merupakan persembahan rakyat untuk Kesultanan Yogyakarta. Selain itu, beliau juga menambah jumlah gerbang-gerbang pungutan (tolpoorten) yang disewakan kepada orang-orang Cina. Sepak terjangnya ini pula yang membuat Pangeran Diponegoro menjadi sangat murka, dan menjadi salah satu pemicu pecahnya Perang Jawa (1825-1830).
Beliau menjabat sebagai patih hingga tanggal 22 Februari 1847, dan pensiun sebagai Kanjeng Pangeran Kusumoyudo hing Japan. Meninggal di Majakerta pada tahun 1849.
Dalam literatur umum, termasuk dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, beliau sering disebut sebagai Danurejo IV. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan pencatatan. Beberapa pihak mencatat Kiai Adipati Danurejo (Tumenggung Sindunegara) sebagai Danurejo III, sehingga Sumodipuro selaku patih berikutnya dicatat sebagai Danurejo IV. Hal ini turut menyebabkan perbedaan penyebutan patih-patih selanjutnya.
Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV
Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV (11 Februari 1847-17 Nopember 1879)
Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV pada masa kecil bernama Raden Bagus Sukapja, lantas pada masa dewasanya membawa gelar Kanjeng Raden Tumenggung Gondokusumo. Beliau merupakan putra dari Kanjeng Raden Adipati Danurejo II. Selama Perang Jawa (1825-1830), ia menjadi salah satu panglima Diponegoro untuk wilayah Banyumas.
Beliau menikah dengan BRAy Danurejo, putri dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan BRAy Retnodiningrum. Danurejo IV mengajukan pengunduran diri setelah hampir 33 tahun mengabdi. Kemudian beliau dikenal dengan nama Pangeran Harya Juru atau Pangeran Juru Ridder. Beliau meninggal dunia pada tahun 1884 dan dimakamkan di Astana Mlangi, sebelah utara Demakijo.
Kanjeng Raden Adipati Danurejo V
Kanjeng Raden Adipati Danurejo V ( 1879 - 1899)
Pada tahun 1889, dilakukan pembangunan ulang Tugu Golong Gilig yang rusak akibat gempa bumi tahun 1867. Pekerjaan ini dipimpin oleh patih saat itu, Danurejo V. Ketika tugu dalam bentuk baru yang diberi nama de Wite Pal diresmikan, nama beliau tertulis pada prasasti di tugu tersebut. Prasasti itu masih bisa dibaca hingga kini.
Di bawah pengawasan beliau pula, terbit beberapa karya sastra yang memuat sejarah Kasultanan Yogyakarta, di antaranya Serat Pustaka Jatya dan Serat Babad Mataram.
Beliau menikah dengan putri Sri Sultan Hamengku Buwono VI, GKR Pembayun. Pada 21 Juli 1899, beliau wafat setelah 20 tahun mengabdi.
Kanjeng Raden Adipati Danurejo VI
Kanjeng Raden Adipati Danurejo VI (17 Maret 1900 - 15 Oktober 1911)
Danurejo VI juga dikenal dengan nama Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat. Sebagaimana pendahulunya, beliau juga memiliki karya tulis. Antara lain Kempalan Kitab-Kitab Islam dan Serat Betaljemur Adammakna.
Beliau memiliki seorang cucu yang sangat disayangi yang bernama Bendara Raden Mas Kudiarmaji. Ketika dewasa cucu beliau ini mendapat gelar Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram. Kelak sang cucu muncul menjadi tokoh tasawuf Jawa, menanggalkan gelar kepangeranan dan menjalani hidup sebagai Ki Ageng Suryomentaram.
Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VII
Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VII (1 Maret 1912 – sekitar Oktober 1933)
Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara III, demikian nama beliau sebelum menjabat sebagai Pepatih Dalem, sangat menyukai seni pertunjukan. Beliau berkeinginan membawa pertunjukan wayang orang ke luar tembok keraton. Untuk tujuan inilah beliau menciptakan Langen Mandra Wanara di mana tarian-tariannya dilakukan dengan jongkok dan dialognya berupa tembang.
Selain itu, beliau juga menciptakan gamelan yang bilahnya terbuat dari pecahan kaca, dikenal dengan nama Gamelan Beling.
Beliau menikah dengan GKR Ayu, putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan GKR Hemas. Setelah wafat pada bulan Jumadilakhir tahun 1864 J, beliau dimakamkan di makam Cendonosari, dusun Wonocatur, Banguntapan, Bantul.
Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII
Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII ( 30 November 1933 - 14 Juli 1945)
Danurejo VIII, atau yang sebelumnya dikenal dengan nama Kanjeng Raden Tumenggung Harjokusumo, adalah patih terakhir Kesultanan Yogyakarta. Beliau dilantik pada tanggal 30 November 1933 di Betawi. Sama seperti patih sebelumnya, Danurejo VIII menjadi menantu Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan menikahi GKR Condrokirono, putri dari garwa padmi GKR Kencono.
Terlahir di era setelah politik etis memungkinkan beliau mendapatkan pendidikan tinggi. Beliau adalah sarjana politik dari Belanda, lulusan ELS (Europeesche Lagere School).
Saat sudah lanjut usia dan sakit, beliau berhenti dengan terhormat. Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian menghapuskan jabatan patih dalam struktur pemerintahan. Setelah lengser dari jabatan pepatih dalem gelar beliau menjadi Kanjeng Pangeran Harya Adipati Harjokusumo.
Berakhirnya Pepatih Dalem
Posisi Patih Dalem sejak awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta memanglah memiliki fungsi dua muka. Satu muka melayani kasultanan, namun di sisi lain juga tunduk pada pemerintah kolonial Belanda. Masa kependudukan Jepang yang menggantikan pemerintahan Belanda digunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menghilangkan jabatan patih. Langkah ini ditempuh agar kekuasaan atas Kesultanan Yogyakarta dapat digenggamnya penuh dan digunakan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat. Sejak saat itu, tidak pernah ada lagi posisi patih dalam Kesultanan Yogyakarta.