Digitalisasi Koleksi, Upaya Merawat Kekayaan Budaya di Keraton Yogyakarta
- 14-09-2021
Sketsa Alun-Alun Utara lengkap dengan sepasang pohon beringin di tengahnya bertahun 1771 diperkirakan sebagai dokumentasi visual tertua Keraton Yogyakarta. Sketsa itu merupakan karya Johannes Rach, prajurit penembak VOC. Dokumentasi visual tentang keraton pada masa awal pemerintahan sepanjang abad ke-18 jumlahnya terbatas. Pada pertengahan abad-19, kegiatan dokumentasi visual mulai berkembang. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877), Raden Saleh, pelukis realis pertama dan terkemuka, aktif melukis keluarga keraton dan meninggalkan banyak artefak visual.
Pada masa itu pula, fotografi mulai berperan dalam dokumentasi visual keraton. Tahun 1861, Simon Willem Cemerik, pelukis sekaligus fotografer kepercayaan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, mendokumentasikan keraton dalam berbagai sisi. Cemerik melatih seorang pribumi bernama Kassian Cephas yang kemudian menggantikannya sebagai fotografer keraton.
Rach, Raden Saleh, dan Cephas berupaya merawat ingatan terhadap keraton melalui seni visual. Fotografi di keraton makin berkembang pada awal abad ke-20. Banyak anggota keluarga Sultan memiliki peralatan fotografi sendiri, salah satunya GRM Dorodjatun. BRM Herjuno Darpito, yang kemudian naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X, bahkan pernah berprofesi menjadi juru foto keliling. Pada masa itu, pendokumentasian keraton dilakukan sendiri oleh keluarga Sultan.
Seiring perkembangan teknologi, video mulai dimanfaatkan untuk mengabadikan momen-momen bersejarah keraton. Beberapa peristiwa yang terekam lewat media video dan dapat disaksikan masyarakat luas antara lain, prosesi kenaikan takhta Sri Sultan Hamengku Buwono IX tahun 1940 dan Sri Sultan Hamengku Buwono X tahun 1989.
Pendokumentasian digital dimulai pada 2012, ditandai dengan pembentukan tim dokumentasi digital. Tim tersebut dipimpin oleh GRAj Nurabra Juwita, putri keempat Sri Sultan Hamengku Buwono X yang kemudian bergelar GKR Hayu.
Tugas pertama tim ini adalah merekam prosesi pernikahan GKR Hayu pada 2013. Tanggal 23 Juni 2014, tim tersebut secara resmi menjadi salah satu divisi di lingkungan Keraton Yogyakarta bernama Tandha Yekti. Selanjutnya, proses pendokumentasian tidak terbatas pada peristiwa-peristiwa budaya, melainkan juga koleksi-koleksi di keraton.
Digitalisasi Koleksi di Keraton Yogyakarta
Digitalisasi merupakan proses pengubahan sinyal analog menjadi digital. Proses ini dapat mendokumentasikan berbagai artefak, koleksi pustaka, hingga bangunan. Pada umumnya, digitalisasi diterapkan pada arsip dan manuskrip yang rapuh serta rentan rusak. Media digital menyediakan salinan manuskrip berharga tersebut dengan berbagai kelebihan, misalnya keamanan dan kemudahan akses.
Salah satu koleksi tertua yang sudah didigitalisasi adalah manuskrip dari era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855), setelah peristiwa Geger Sepehi tahun 1812. Selama masa pemerintahan beliau hingga Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921), keraton mengumpulkan kembali berbagai koleksi sebagai penanda legitimasi. Tidak hanya manuskrip, tetapi juga pusaka-pusaka lainnya.
Sebenarnya proses digitalisasi pertama koleksi manuskrip pernah dilakukan akhir tahun 1985. Proyek ini dikerjakan oleh Jennifer Lindsay, antropolog yang menekuni kajian manuskrip Jawa. Mulai 1985 hingga awal 1987, Lindsay mendapat izin dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mendigitalisasi manuskrip koleksi KHP Widyabudaya dan KHP Kridhomardowo dalam bentuk mikrofilm. Kemudian, mikrofilm tersebut diserahkan kepada Arsip Nasional RI di Jakarta. Beberapa institusi lain turut menerima produk dokumentasi ini, antara lain, Museum Negeri Sonobudoyo, Perpustakaan Nasional RI, Fisher Library, University of Sydney, Menzies Library, Australia National University, dan Southeast Asian Microforms Project (SEAM) di Center for Research Libraries, Chicago, Amerika Serikat. Proyek mikrofilm tersebut terselenggara atas bantuan dari The Ford Fondation (New York) melalui perwakilan Asia Tenggara di Jakarta.
Pada akhir 2010 digitalisasi koleksi manuskrip diperbaharui dalam bentuk berkas digital. Kegiatan ini merupakan kerja sama dengan Universitat Leipzig, Jerman dan dilakukan bersamaan dengan digitalisasi koleksi manuskrip milik Museum Sonobudoyo. Namun, proses digitalisasi keraton tidak mengikutsertakan koleksi manuskrip seni pertunjukan yang tersimpan di KHP Kridhomardowo.
Tahun 2018, British Library memulai kegiatan digitalisasi koleksi manuskrip milik Keraton Yogyakarta yang dijarah pasukan Inggris pada peristiwa Geger Sepehi. Kegiatan ini diresmikan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X saat berkunjung ke Inggris. Setahun kemudian, 2019, Keraton Yogyakarta menerima 75 manuskrip digital koleksi British Library yang diidentifikasi oleh M.C. Ricklefs sebagai koleksi Yogyakarta. Semua koleksi tersebut didigitalisasi atas bantuan dari Yayasan Lohia.
Selain manuskrip, melalui KHP Kridhomardowo, keraton juga mendigitalisasi koleksi-koleksi wayang. Koleksi pertama yang didokumentasikan berasal dari Kothak Ampilan, kemudian Kothak Habirandha Sepuh, dan terakhir koleksi wayang golek. Hasil digitalisasi wayang tersebut diluncurkan oleh KHP Kridhamardawa bertepatan dengan hari wayang sedunia. Sedikitnya 500 buah koleksi wayang telah didokumentasikan. Sebagaimana manuskrip, koleksi wayang kulit dengan berbagai kondisi memerlukan prioritas daripada koleksi lain, sehingga dilaksanakan lebih dahulu. Selanjutnya, KHP Kridhomardowo juga secara bertahap mendokumentasikan gendhing, beksan, dan seni pertunjukan lainnya.
Digitalisasi koleksi di keraton juga dilakukan oleh KHP Nityabudaya. Beberapa departemen di bawahnya seperti Patehan dan Purayakara mengarsip peranti makan dan minum dari sultan-sultan yang pernah bertakhta.
Pemanfaatan Digitalisasi Koleksi
Produk digitalisasi keraton bermuara di laman kratonjogja.id. Masyarakat dapat mengakses hasil digitalisasi koleksi di menu Kapustakan. Selain berkas-berkas wayang, terdapat salinan manuskrip hasil kerja British Library. Salah satunya adalah manuskrip berjudul Serat Jayalengkara yang ditulis pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II tahun 1803. Metadata manuskrip dicantumkan sebagai keterangan ringkas bagi para pembaca.
Kini masyarakat dapat memanfaatkan berbagai informasi yang terdapat pada laman tersebut sebagai sumber resmi dari keraton. Upaya ini diharapkan memberi manfaat besar bagi pembentukan karakter bangsa yang berakar pada kearifan lokal.
Daftar Pustaka
Dwiyanto, Djoko. 2004. Kraton Yogyakarta, Sejarah, Nasionalisme, & Teladan Perjuangan. Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
Lindsay, Jennifer., dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2: Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pendit, Putu Laxman. 2007. Perpustakaan Digital: Prespektif Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Rajpal Kumar De Silva. 1988. Illustrations and Views of Dutch Ceylon 1602-1796. Leiden: Brill Archive.
Ricklefs, Voorhoeve, dan Gallop, Annabel Teh. 2014. Indonesian Manuscript in Great Britain: A Catalogue of Manuscript in Indonesian Languages in British Public Collection. Jakarta: Ecole Francaise dÉxtreme-Orient, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Yayasan Obor Indonesia.
Wawancara dengan KPH Notonegoro pada Januari 2020
Wawancara dengan RW Wijoyopadmo pada Januari 2020
Daftar Laman
https://www.kratonjogja.id/ragam/6/sejarah-dokumentasi-visual-keraton-yogyakarta diakses pada 13 Januari 2020.
https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2018/03/javanese-manuscripts-from-yogyakarta-digitisation-project-launched-by-sri-sultan-hamengku-buwono-x.html?_ga=2.54359208.1878179324.1521544911-1913566032.1450280032 diakses pada Januari 2020.
https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2019/04/javanese-manuscripts-from-yogyakarta-digitisation-project-completed.html diakses pada Januari 2020.
https://www.kratonjogja.id/peristiwa/86/khp-kridhamardawa-luncurkan-digitalisasi-kotak-wayang-habirandha-sepuh diakses pada Januari 2020.