Bedhaya Babarlayar
- 22-12-2025
“Wondene ingkang dadya pamudyaning kawasitan, mundhut cariyosipun Kagungan Dalem Serat Klana Giwangkara, duk nalika panjenenganipun Sang Prabu Wanodya ing Ngambarkumala anglurug dhateng nagari Kandhabuwana. Sareng lampahing wadya dumugi ing muara pasisir, lajeng sami numpak baita ambabarlayar pating karethap.” (Kagungan Dalem Manuskrip B/S 24)
Terjemahan:
“Cerita ini diambil dari kisah Kagungan Dalem Serat Klana Giwangkara, ketika seorang ratu dari Ngambarkumala hendak menyerbu negeri Kandhabuwana. Setelah pasukannya tiba di muara pesisir, mereka menaiki kapal, membentangkan layar, hingga tampak dari kejauhan.”

Alkisah, seorang ratu dari negeri Ngambarkumala dan pasukannya ambabar layar (membentangkan layar), menempuh ekspedisi untuk menyerbu negeri Kandhabuwana. Setibanya di sana, sang ratu bersama para prajurit estri (pasukan perempuan) berhadapan dengan seorang putra mahkota Kandhabuwana. Pertarungan hebat pecah, senjata beradu dan keberanian diuji. Namun, di tengah nyala api penaklukan itu, perlahan tumbuh bara asmara antara Ratu Ngambarkumala dan Raja Kandhabuwana. Hingga akhirnya, keteguhan hati sang ratu pun luluh, takluk oleh rasa yang tumbuh di hadapannya.
Itulah cerita yang diangkat oleh tari Bedhaya Babarlayar. Kisah penaklukan yang berujung asmara jamak ditemui dalam epos-epos wayang maupun babad. Hal ini berdasarkan keterangan yang didapatkan melalui pembacaan manuskrip Kagungan Dalem Serat Kandha, kisah tersebut bersumber dari Serat Klana Giwangkara, yang diduga merupakan bagian dari Serat Suryaraja .

Sejarah
Bedhaya Babarlayar merupakan salah satu bedhaya arkaik yang konon diciptakan pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pascaperjanjian Giyanti, tarian tersebut dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta, bersama Bedhaya Semang dan Bedhaya Rambu. Kemudian, pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755 – 1792) bedhaya ini disempurnakan kembali, dan menjadi Yasan (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono I yang diciptakan khusus bagi putra mahkota, Raden Mas Sundoro. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855 – 1877), Bedhaya Babarlayar kembali digubah dan dianugerahkan kepada putranya di kadipaten, Raden Mas Murtejo, yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Namun, di samping itu terdapat gothek (tradisi lisan) yang menuturkan bahwa Bedhaya Babarlayar merupakan Yasan Dalem Sri Susuhunan Paku Buwono II, yang dilestarikan oleh Sultan Hamengku Buwana II. Oleh karena itu, tidak heran jika ditemukan garap dan rasa yang mencerminkan perpaduan antara gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta.

Komposisi Gendhing
Rangkaian iringan Bedhaya Babarlayar menggunakan Laras Pelog Pathet Barang yang diawali dengan Lagon Wetah, Ladrang Mesem-Mesem untuk kapang-kapang majeng, Kawin Sekar Asmaradana, Gendhing Babarlayar - Kendhangan Mawur, dhawah Ladrang Tedhak Saking, Bawaswara Celuk - Sekar Ageng Madukusuma, Ketawang Priyambada, Ayak-Ayak, Srepegan, Lagon Wetah untuk lampah pocong, Ladrang Kenasih sebagai iringan kapang-kapang mundur, dan diakhiri dengan Lagon Jugag.
Pada umumnya, garap gendhing bedhayan acapkali menggunakan Gendhing Gati dengan tambahan instrumen musik barat sebagai iringan kapang-kapang. Namun, dalam Bedhaya Babarlayar, kapang-kapang diiringi dengan garap Ladrang Irama II.
Bedhaya Babarlayar juga memiliki kekhasan lain, yakni buka rebab yang dimainkan sebelum memasuki gendhing baku. Dalam tradisi bedhaya gaya Yogyakarta, hal tersebut jarang dijumpai. Buka rebab lebih lazim ditemukan dalam iringan bedhaya di Surakarta. Gendhing Babarlayar yang digunakan juga tidak lazim dalam perbendaharaan gendhing gaya Yogyakarta. Di Yogyakarta, Gendhing Babarlayar dikenal sebagai Gendhing Soran berlaras Pelog Pathet Lima, sedangkan dalam tari ini, gendhing yang digunakan adalah Gendhing Babarlayar berlaras Pelog Pathet Barang. Ini menjadi suatu anomali yang menjadi ciri khas dan menambah khazanah perbendaharaan gendhing di Keraton Yogyakarta.

Komposisi Tari
Seperti Kelangenan Dalem Bedhaya lainnya, Bedhaya Babarlayar diawali dengan lampah kapang-kapang majeng. Kemudian dilanjutkan dengan pola lantai (rakit) baku pembuka bedhaya, seperti ajeng-ajengan, mlebet lajur, medali lajur, lumbungan, dan tiga-tiga. Inti cerita disampaikan melalui rakit gelar. Setelah itu, penari kembali pada pola rakit tiga-tiga dan kembali ke rakit bedhaya dengan lampah pocong. Tarian berdurasi sekitar 55 menit ini ditutup dengan ragam gerak sembahan dan kondur bedhaya dengan gerak kapang-kapang mundur.
Lampah beksan Bedhaya Babarlayar yang ditampilkan dalam Uyon-Uyon Hadiluhung 22 Desember 2025 merupakan versi jugag dari hasil upaya rekonstruksi yang pernah dilakukan oleh Nyi KRT Pujaningsih, berdasarkan lampah beksan yang terdapat pada manuskrip B/S 7. Dalam versi wetah, sebagai salah satu bedhaya yang tergolong sepuh, Bedhaya Babarlayar memiliki kemiripan yang cukup tinggi dengan Bedhaya Semang–induk tari bedhaya yang ada di Keraton Yogyakarta.
Kemiripan tersebut antara lain tampak pada pilihan pola gerak encot-encot – impang encot – mapan ngenceng majeng mundur yang megacu pada pola gerak Bedhaya Semang, serta adanya pengulangan pola gerak lembeyan – gudawa asta minggah. Selain itu, yang mencolok adalah adanya pola mlampah lumbungan (melingkar) dan tawing tanjak. Sementara itu, kekhasan Bedhaya Babarlayar lainnya terlihat pada penerapan pola rakit gelar yang dilakukan lebih awal, yaitu pada saat iringan ladrang, serta adanya rakit di mana para penari berbaris sejajar ke belakang menjadi dua banjar yang terdiri dari 4 dan 5 orang penari. Pola tersebut jarang ditemui pada bedhaya lainnya.
Bedhaya Babarlayar dibawakan oleh sembilan orang penari putri dan dua orang peraga dhudhuk–pembawa jemparing (panah). Tokoh utamanya berada pada posisi endhel pajeg dan batak yang menggambarkan tokoh Ratu Ngambarkumala dan Raja Kandhabuwana.
Busana
Dalam sajian Uyon-uyon Hadiluhung 22 Desember 2025, para penari Bedhaya Babarlayar mengenakan busana gladhen (busana latihan). Tata rambutnya berupa ukel tekuk dan tleseban praja cihna keemasan di sebelah kanan sanggul. Sedangkan, busana yang dikenakan adalah kampuh bermotif kawung, dan sondher gendhala giri berwarna biru senada dengan nyamping, serta menyelipkan properti keris. Sedangkan properti jemparing yang digunakan dalam adegan peperangan, dibawakan terlebih dahulu oleh penari dhudhuk. Sementara, para penari dhudhuk menggunakan nyamping motif larasati yang dipakai dengan gaya sabukwala dan udhet (kain sondher kecil) gendhala giri berwarna putih tulang.
Bedhaya Babarlayar sebelumnya pernah direkonstruksi melalui sinergi mendiang KRT Mangkuwinata dan Nyi KRT Pujaningsih. Pementasan kolaboratif di Ndalem Yudaningratan tersebut terselenggara atas kerja sama antara Puspaning Asih Wiraga (Yogyakarta) dengan The Institute of Ethnomusicology, Tokyo College of Music (Jepang), pada tahun 2008. Hadirnya kembali Bedhaya Babarlayar merupakan bagian upaya pelestarian seni tradisi. Komitmen Keraton Yogyakarta dalam merevitalisasi tarian-tarian kuno tidak hanya memperkaya khazanah budaya bangsa, tetapi juga memastikan bahwa identitas kultural tersebut tetap lestari dan senantiasa relevan bagi generasi mendatang.
Daftar Pustaka
Kagungan Dalem Manuskrip B/S 7 Serat Beksa Bedhaya utawi Srimpi.
Kagungan Dalem Manuskrip B/S 8 Serat Kandha Bedhaya utawi Srimpi.
Kagungan Dalem Manuskrip B/S 19 Serat Pasindhen Bedhaya utawi Srimpi.
Kagungan Dalem Manuskrip B/S 22 Serat Pasindhen Bedhaya utawi Srimpi.
Kagungan Dalem Manuskrip B/S 24 Serat Kandha Bedhaya utawi Srimpi.
Jennifer Lindsay, dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2, Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pradjapangrawit, R. Ng. 1990. Serat Sujarah utawi Riwayating Gamelan: Wedhapradangga. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
Wawancara
Wawancara dengan Nyi RRy Pujaningrum, Nyi RW Widyawahyubudaya, dan Nyi MRy Pramudita (pemucal Bedhaya Babarlayar) pada 14 Desember 2025.
Wawancara dengan Nyi MJ Silihsumekto (penata busana) pada 14 Desember 2025.
Wawancara dengan Mas Ry Susilomadyo (penata iringan) pada 18 Desember 2025.