Bedhaya Gandrung Manis
- 25-02-2024
Bedhaya Gandrung Manis merupakan Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939) yang menceritakan kisah Prabu Banjaransari dan Dewi Suprabawati. Diambil dari cerita Panji yang ditulis dalam serat babad, bedhaya ini tercatat dalam Serat Kandha Srimpi Utawi Bedhaya Yasan Dalem Kaping VIII dengan kode naskah B/S 15. Naskah tersebut berisikan judul-judul tari srimpi dan bedhaya yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, termasuk Gandrung Manis tersebut.
Bedhaya Gandrung Manis merupakan salah satu bedhaya yang dipentaskan sebagai rangkaian seremonial saat Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tengah Tedhak Loji atau kunjungan balasan ke kediaman Dinas Gubernur Belanda yang kini menjadi Gedung Agung. Tarian ini pernah direkonstruksi pada 1986 oleh salah satu mahasiswi ASTI Yogyakarta (saat ini ISI Yogyakarta), lalu direkonstruksi kembali pada 2013 oleh Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa di bawah fasilitasi Taman Budaya Yogyakarta.
Jalan Cerita
Telah dijelaskan dalam kandha atau narasi naskah tari Bedhaya Gandrung Manis menyebutkan bahwa tarian ini menceritakan peperangan antara raja Kerajaan Koripan Prabu Banjaransari dan ratu Kerajaan Galuh Dyah Ratu Suprabawati. Prabu Banjaransari ingin mbedah atau menduduki Kerajaan Galuh. Oleh sebab itu, bedhaya ini juga dinamakan Bedhaya Sigaluh. Hal ini tertulis dalam cuplikan kandha berikut:
Nalikanipun Raden Banjaransari, amurwani perang ambedhah negari Sigaluh. Riwusnya mrawaseng yuda, Radyan Banjaransari anggrenggani ing nagari Sigaluh.
Ketika itu Raden Banjaransari, berperang menduduki negara Sigaluh. Setelah perang usai, Raden Banjaransari memperindah negara Sigaluh.
Prabu Banjaransari berkeinginan untuk menjadi raja yang berjaya seperti kakeknya, Panji Suryawisesa, yang semasa hidupnya memimpin Kerajaan Jenggala. Ia pun meninggalkan kerajaannya dan bertapa demi mewujudkan keinginan tersebut. Dalam perjalanan tapa itu, Prabu Banjaransari bertemu dengan Raden Gandarwa. Ia memberi saran kepada Prabu Banjaransari untuk datang ke negeri Sigaluh. Negeri itu tampak tak kasatmata karena yang bertakhta di sana adalah seorang gadis bernama Dewi Suprabawati, putri raja Suprabagni. Dalam kandha disebutkan bahwa Dyah Ratu Suprabawati adalah seorang jin yang kelak diperistri oleh Prabu Banjaransari.
Siniweng ing wadya Koripan sedaya, sarta lajeng dhaup lan sang naredra jim wanodya, kang jejuluk Sang Dyah Ratu Suprabawati.
Di hadapan semua prajurit Koripan, (Prabu Banjaransari) lalu menikah dengan jin perempuan bernama Sang Dyah Ratu Suprabawati.
Mengikuti nasihat Raden Gandarwa, Prabu Banjaransari pergi ke negeri Galuh. Ia ingin menduduki dan membuat Kerajaan Galuh terlihat lagi. Prabu Banjaransari kemudian berhadapan dengan Dewi Suprabawati. Perang antara keduanya tak terhindarkan. Menariknya, semua pasukan dari Kerajaan Galuh adalah perempuan. Dalam teks sindhenan tertulis kalimat berikut:
Wus miyos ing siti bentar, ginarebeg wadya estri, Patih Banuwati ing ngarsa.
Sudah berada di siti hinggil, dikelilingi oleh prajurit perempuan, dipimpin oleh Patih Banuwati.
Pada naskah sindhenan digambarkan bagaimana Prabu Banjaransari dan Dyah Ratu Suprabawati berperang:
Kocap jroning yuda, Dyah Banjaransari sinuduk dan jinemparing, wola-wali tan tumama. Sarwi mesem angujiwat. Telas budinya Dyah Ayu mung sumarah jiwa raga sukarena.
Diceritakan dalam perang, Dyah Banjaransari tertusuk dan terpanah berkali-kali. Sembari tersenyum. Dyah Ayu menyerahkan jiwa dan raganya dengan senang hati.
Dalam kisah Bedhaya Gandrung Manis, tidak ada yang menang dan kalah. Walaupun begitu, dalam naskah kandha disebutkan bahwa setelah perang usai, keduanya menikah.
Pola Lantai dan Komposisi Tari
Seperti Kagungan Dalem Bedhaya lainnya, miyos bedhaya diawali dengan kapang-kapang majeng (maju). Adapun pola lantai menggunakan rakit gelar baku, seperti rakit lajur, rakit ajeng-ajengan, rakit iring-iringan, rakit lajur nyamber srisig setelah endel masuk lajur, berikutnya rakit tiga-tiga, dilanjutkan rakit gelar.
Demikian komposisi tarinya, saat penari menghadap ke depan dan melakukan gerakan ngendherek dan sedhuwa. Ragam gerak selanjutnya antara lain mapan ngenceng encot, mapan ngenceng seblak, mlampah imbal, mapan ngenceng maju mundur, nyamber, lembean, gudhawa, kicat gajahan, tawing tanjak, ungkek, dan ngundhuh sekar. Ragam gerak yang membuat Bedhaya Gandrung Manis menarik adalah muryani busana (berbusana atau merias diri) dengan gerak atrap sumping. Motif gerak ini menggambarkan gerakan memasang hiasan telinga atau sumping. Pola lantai rakit tiga-tiga menjadi jembatan menuju pola lantai inti rakit gelar. Pada rakit tiga-tiga, gerakan yang dilakukan antara lain bangomate, mapan tawing, duduk wuluh, mapan ngenceng tawing, mapan ngenceng encot, nyathok jinjit. Ungkek nyamber kiwa menjadi ragam gerak untuk melaju ke rakit gelar. Pola lantai rakit gelar terlihat menonjol karena menampilkan inti cerita pertunjukan bedhaya.
Dalam tarian ini, penari batak dan endel berdiri, sedangkan tujuh penari lainnya berpose jengkeng. Batak memerankan tokoh Prabu Banjaransari, sedangkan endel memerankan Suprabawati. Saat rakit gelar, batak dan endel menampilkan adegan saling menyerang yang terlihat dari misalnya ragam gerak nyuduk (menusuk) dengan keris. Adegan pertarungan juga ditunjukkan dengan pola lantai yang variatif, seperti saat batak mengejar endel dan sebaliknya. Perpindahan pola lantai keduanya dilakukan dengan gerakan nyamber. Rakit gelar diakhiri dengan batak dan endel berjejer menghadap depan dan melakukan gerak encot-encot ungkek mapan, mapan ngoyog panggel, nyarungaken dhuwung (memasukkan keris), mapan lembeyan, sirig mundur, mapan duduk wukuh, mapan asta tumpang tali, dan mapan ngembat kiwa.
Selepas rakit gelar, tujuh penari yang jengkeng berdiri lalu melakukan gerakan ngancap sedhuwa menuju rakit tiga-tiga. Batak dan endel mengikuti. Pada rakit tiga-tiga, para penari melakukan kicat boyong, sendhi nyathok, mapan seblak udhet, ukel asta, sendhi, dan mapan jengkeng. Setelahnya, mereka memperagakan lampah pocong untuk kembali ke pola lantai awal. Tarian diakhiri dengan sikap nyembah dan kapang-kapang mundur.
Komposisi Gending
Racikan Gending Bedhaya Gandrung Manis berlaras Pelog Pathet Barang, yang terdiri dari Lagon Wetah, Lagon Jugag, Bawaswara Sekar Tengahan Bremaraumung, Gendhing Gandrung Manis, Ladrang Gandrung Manis, Ketawang Tarupala, Lagon Jugag. Gati Dirgantara menjadi gendhing pengiring pada kapang-kapang maju, sedangkan kapang-kapang mundur diiringi Gendhing Gati Mandra.
Busana Tari
Kostum Bedhaya Gandrung Manis umumnya terdiri atas rompi bludru, sonder, dan kain jarik dengan motif parang berpola seredan. Bagian kepala dihias jamang dengan hiasan bulu-bulu. Aksesori lain yang melekat di kepala adalah cundhuk mentul, jungkat, pethat, dan ceplok jebehan serta pelik. Mata para penari dirias dengan jahitan mata. Khusus untuk Uyon-Uyon Hadiluhung 26 Februari 2024 para penari mengenakan busana gladhen (busana latihan), yang terdiri dari sanggul ukel tekuk, kampuhan motif parang plenik, sonder gendala giri, dan keris.
Daftar Pustaka
Hanifah Winda Damayanti, Sarjiwo, Agustina Ratri Probosini. 2022. “Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Tari Sekar Pudyastuti dan Relevansinya pada Pembelajaran Seni”. Indonesia Journal of Performing Arts Education. (Vol. 2, No.1, Januari 2022).
Jennifer Lindsay, dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2, Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koran Kedaulatan Rakyat. 20 Mei 2013. Tari Klasik Kraton Rekonstruksi Lewat Interpretasi.
MRiyo Susilomadya. 2024. Serat Pasindhen Bedhaya Gandrung Manis (Jugag). Yogyakarta: Kawedanan Kridhomardowo Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sri Sumarsih. 1981. Risalah Sejarah dan Budaya: Seri Terjemahan Naskah Kuno. Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya.
Daftar Wawancara
Wawancara dengan Nyi Mas Riyo Wijayaningsih (pamucal beksa) pada 11 Februari 2024
Wawancara dengan MB Kayun Sumekto (panata busana) pada 12 Februari 2024