Sengkalan: Rangkaian Kata Penanda Masa
- 21-08-2017
Sengkalan adalah penanda waktu, berwujud rangkaian kata yang memiliki makna berupa bilangan-bilangan. Tiap kata dalam sengkalan mewakili sebuah bilangan, dan jika rangkaian kata tersebut dibaca terbalik maka didapati bilangan tahun yang dimaksud.
Sebagai contoh adalah sengkalan yang menandai runtuhnya kerajaan Majapahit, Sirna Ilang Kertaning Bumi. Kata sirna mewakili bilangan 0, ilang juga mewakili bilangan 0, kerta mewakili bilangan 4, sedang bumi mewakili bilangan 1. Jika dibalik maka akan terbaca 1400 sebagai bilangan tahun.
Kata sirna sendiri berarti lenyap, ilang berarti hilang, kerta dapat diartikan sebagai kemakmuran, bumi berarti dunia. Dengan demikian maka Sirna Ilang Kertaning Bumi dapat diartikan sebagai "lenyapnya kemakmuran di dunia". Penggunaan kata-kata sebagai pengganti bilangan membuat sengkalan tidak hanya menjadi penanda waktu, namun juga memiliki kemampuan untuk menghadirkan semboyan, harapan, gambaran situasi, atau suasana batin atas peristiwa yang ditandai.
Sengkalan paling tua yang pernah ditemukan di Indonesia terdapat pada prasasti Canggal di Gunung Wukir, Kedu Selatan. Prasasti itu menceritakan tentang Raja Sanjaya, salah satu raja dari kerajaan Mataram Kuno. Sengkalan tersebut ditulis dalam bahasa Sansekerta, berbunyi Syruti Indrya Rasa, yang bermakna angka tahun 654.
Bilangan tahun yang disebutkan sengkalan harus dimaknai secara tepat berdasar peredaran tahun yang digunakan. Sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bumi dan Syruti Indrya Rasa misalnya, menggunakan peredaran tahun Çaka. Sehingga Sirna Ilang Kertaning Bumi yang menunjuk tahun 1400 Çaka berpadanan dengan tahun 1478 Masehi, sedang Syruti Indrya Rasa yang menunjuk tahun 654 Çaka berpadanan dengan tahun 732 Masehi.
Kemunculan sengkalan di tanah Jawa diyakini bersamaan dengan masuknya perhitungan tahun Çaka (Saka) yang dibawa oleh tokoh legenda Aji Saka. Menurut teori ini, sengkalan berasal dari kata Çakakala, gabungan dari kata çaka dan kala, yang berarti perhitungan waktu menurut Çaka (tahun Çaka). Kata Çakakala kemudian berubah menjadi sakala, sebelum menjadi sengkala atau sengkalan seperti yang kita kenal sekarang.
Sengkalan kemudian meluruh dan turut dalam dinamika masyarakat Jawa. Sengkalan yang awalnya hanya dituturkan dalam bahasa Sansekerta kemudian juga dituturkan dalam bahasa Jawa. Tidak hanya sampai di situ, sengkalan juga mengikuti perkembangan saat budaya Islam masuk ke Jawa.
Tahun Islam (Hijriah) yang berdasar pada peredaran bulan berbeda dengan tahun Çaka (Hindu Jawa) yang didasarkan pada peredaran matahari. Sultan Agung, raja Mataram Islam, memadukan keduanya menjadi tahun Jawa yang didasarkan pada peredaran bulan. Mulai saat itu sengkalan dibagi menjadi dua berdasar tahun peredarannya, suryasengkala dan candrasengkala.
Candrasengkala Dwi Naga Rasa Tunggal pada Regol Kemagangan.
Candrasengkala adalah sengkalan yang menunjukkan tahun berdasar peredaran bulan, sedang suryasengkala menunjukkan tahun berdasar peredaran matahari. Candrasengkalan digunakan pada sengkalan yang merujuk pada tahun Jawa, sedang suryasengkala merujuk pada tahun Çaka. Pada perkembangannya, saat tahun Çaka sudah tidak digunakan lagi dan masyarakat lazim menggunakan tahun Masehi sebagai penanda waktu, suryasengkala merujuk pada tahun Masehi.
Selain dibagi berdasar peredaran tahun yang dipakai, sengkalan juga dibagi berdasar bentuknya. Sengkalan yang berupa rangkaian kata disebut sebagai sengkalan lamba, sedang sengkalan yang diwujudkan dalam bentuk visual disebut sengkalan memet. Sengkalan memet dapat berupa gambar, relief, ataupun patung.
Sengkalan memet banyak dijumpai di Keraton Yogyakarta, misalnya sengkalan berwujud patung dua ekor naga saling membelakangi dan dengan dua ekor yang saling membelit. Sengkalan ini berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal (dua naga bersatu rasa), yang jika diartikan menunjuk pada tahun 1682 Jawa (1756 M), yaitu tahun mulai dihuninya Keraton Yogyakarta. Sengkalan ini dapat ditemui pada Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi.
Sengkalan memet memiliki tingkat kesulitan tinggi dalam penafsiran, terutama jika tidak disertai sengkalan lamba-nya. Hal ini terutama disebabkan tidak adanya aturan baku untuk membaca rangkaian citra visual pada sengkalan memet. Karena itu pulalah sengkalan berwujud citra visual disebut memet (rumit), sedang yang berbentuk rangkaian kata disebut lamba (sederhana).
Sebagai penanda waktu, sengkalan dapat ditemui di mana saja. Sengkalan dapat ditemui di prasasti, bangunan, kitab, wayang, bahkan senjata. Sebagai contoh, wayang Cakil karya Sultan Agung memiliki sengkalan Tangan Butha Tata Jalma. Sengkalan ini dapat diterjemahkan sebagai "tangan raksasa menata manusia", menunjuk pada tahun 1552 Jawa. Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1812) pernah memerintahkan untuk membuat meriam yang kemudian ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Swaraning Dahana Sabdaning Ratu, dapat diterjemahkan sebagai "dentuman senjata (sebagai) titah raja". Sengkalan ini menandai tahun 1737 Jawa.
Dalam membuat sengkalan, baik lamba maupun memet, perlu dicari kata-kata yang mewakili bilangan yang dikehendaki. Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai watak (nilai) dari sejumlah kata-kata yang ada. Watak tersebut muncul berdasar seperangkat pedoman dan pemahaman mengenai kata-kata yang dipergunakan. Watak dari kata-kata ini tidak muncul begitu saja. Misal kata api yang berwatak tiga bertalian dengan Sang Hyang Dahana (Dewa Api) yang bercahaya tiga, yakni merah, kuning, dan biru. Kata kuda yang berwatak tujuh bertalian dengan tujuh ekor kuda yang menjadi penarik kereta Dewa Wisnu. Sedang kata berwatak dua muncul dari obyek yang sewajarnya berjumlah dua, seperti netra (mata) dan suwiwi (sayap).
Penggunaan rangkaian kata-kata yang ditujukan untuk mewakili bilangan, atau lazim disebut kronogram, tidak hanya dimiliki oleh budaya Jawa. Kronogram berdasar bahasa Sanskerta dan didasarkan pada tahun Çaka dapat ditemui tersebar di Indonesia, India, Kamboja, dan Vietnam. Namun kronogram di Jawa mengalami perkembangan yang berbeda.
Di Kamboja dan Vietnam, kronogram hanya menggunakan bahasa Sanskerta dan merujuk pada tahun Çaka. Hanya di Jawa kronogram diadaptasi sehingga dibuat menggunakan bahasa Jawa dan merujuk pada tahun yang lazim digunakan di Jawa. Hanya di Jawa pula, kronogram yang disebut sebagai sengkalan ini berkembang hingga diwujudkan dalam bentuk visual.
Sengkalan sebagai penanda waktu masih digunakan hingga saat ini. Sengkalan memet paling muda yang ada di Keraton Yogyakarta berwujud sepasang naga dikombinasikan dengan lambang Kasultanan Yogyakarta. Surya sengkala ini berbunyi Kaheksi Nagaraja Manjing Kadhaton, menandai peresmian museum Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1992 Masehi. Dalam bahasa Indonesia, kira-kira berarti " dewa naga (terlihat) memasuki keraton".
Suryasengkala Kaheksi Nagaraja Manjing Kadhaton pada Museum Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Sengkalan lamba paling muda yang ada di keraton dibuat untuk menandai renovasi Bangsal Trajumas yang sempat rusak karena gempa bumi. Selesainya renovasi tersebut ditandai dengan candra dan surya sengkala. Candra sengkala tersebut berbunyi Sumunar Hakarya Haruming Dhatulaya, memiliki arti "sorot cahaya mewujudkan megahnya keraton", menandai tahun 1943 Jawa. Sedang surya sengkala yang ada berbunyi Hanggara Sampurna Risaking Traju, memiliki arti "membangun Bangsal Trajumas sampai sempurna", menandai tahun 2009 Masehi.
Penanggalan Jawa memperlihatkan bagaimana masyarakat Jawa memandang waktu tidak sebagai satuan-satuan yang seragam. Seperti yang ditunjukkan oleh pembagian waktu berdasar wuku, siklus tujuh hari dalam penanggalan Jawa dan Bali, waktu dipandang sebagai satuan-satuan yang memiliki nilai-nilai yang berbeda. Penggunaan sengkalan juga menunjukkan cara pandang masyarakat Jawa terhadap waktu yang tidak seragam. Waktu tidak hanya menjadi penanda kronologis terkait dengan sebuah peristiwa sejarah, namun juga dimaknai dan diungkapkan dalam keindahan. Baik itu keindahan sastrawi yang dinyatakan dalam sengkalan lamba, maupun keindahan visual seperti yang ditunjukkan oleh sengkalan memet.