Beksan Dasakusuma
- 06-06-2022
Beksan Dasakusuma merupakan beksan kakung (tari putra) keempat Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10. Tari ini menggambarkan pertempuran antara Prabu Dasakusuma dan Raden Panji Laleyan. Kisah tersebut menukil dari narasi Wayang Gedhog dalam manuskrip Serat Kandha: Kalangenan Dalem Beksan Lawung karya Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) yang mengurai runtutan pertempuran dan kisah Panji terutama dari zaman Kediri hingga penaklukan kerajaan-kerajaan di Bali. Pada bagian akhir serat, Prabu Dasakusuma dari Kerajaan Parangkencana dikisahkan ingin menikahi Dewi Sekartaji (Dewi Condrokirono), istri Raden Panji Laleyan dari Kerajaan Kediri. Namun, Dewi Sekartaji tidak menyanggupi permintaan tersebut. Terjadilah pertempuran antara Prabu Dasakusuma dan Raden Panji Laleyan. Tidak ada yang menang atau kalah dalam pertempuran itu karena keduanya sama-sama sakti. Perseteruan mereka diakhiri dengan suka-suka (perjamuan) antara kedua kerajaan sebagai klimaks cerita.
Filosofi Tari
Berbeda dengan beksan kakung yang telah ada sebelumnya, Beksan Dasakusuma merupakan perpaduan antara beksan sekawanan yang identik sebagai tari kakung (laki-laki) dan bedhaya, yang identik sebagai tari perempuan. Namun, tari ini termasuk dalam kategori bedhayan karena disajikan dengan komposisi tari bedhaya. Bedhayan memiliki arti meniru bedhaya. Secara kedudukan, tari bedhayan tidak setinggi bedhaya. Hal ini dikarenakan jenis bedhayan merupakan kombinasi esensi-esensi atau beberapa pakem dalam bedhaya. Dalam Beksan Dasakusuma, misalnya, perpaduan tersebut terlihat pada paraga penari kakung, ragam gerak beksan kakung, dan dikemas dalam komposisi bedhaya putri.
Filosofi Beksan Dasakusuma juga mengacu pada tari bedhaya. Paraga bedhaya biasanya berjumlah sembilan sesuai dengan filosofi babahan hawa sanga (sembilan lubang tubuh manusia). Lubang-lubang tersebut disimbolkan oleh posisi endhel pajeg, batak, jangga, dhadha, apit ngajeng, endhel wedalan ngajeng, apit wingking, endhel wedalan wingking, dan bunthil. Namun, dalam Beksan Dasakusuma, terdapat sepuluh paraga yang meliputi endhel, endhel wayang, tuntunan (pusar), batak, batak wayang, jangga, jaja/dhadha, apit, endhel wedalan, dan bunthil. Posisi endhel wayang dan batak wayang merupakan bayangan endhel dan batak. Kedua bayangan tersebut merupakan ciri khas beksan sekawanan. Selain itu, tuntunan yang ditambahkan dalam beksan ini menekankan pemaknaan lubang manusia yang pertama kali ada, yaitu pusar sebagai tuk ing tiyang gesang atau caraning urip (sumber kehidupan manusia).
Meskipun mengisahkan perang brubuh antara Prabu Dasakusuma dan Raden Panji Laleyan, tarian ini tidak menampilkan dialog. Kisah mereka disampaikan lewat lagon maupun kandha. Bagian yang tampak sebagai visualisasi Prabu Dasakusuma dan Raden Panji Laleyan terdapat dalam rakit tandhing ketika endhel dan endhel wayang berhadap-hadapan dengan batak dan batak wayang. Hal tersebut diperkuat dalam adegan mempersiapkan diri untuk maju perang, memasang jamang, mengikat kain atau kampuh, membawa tameng kencana, serta menghunus keris.
Beksan inovasi baru yang ditampilkan oleh KHP Kridhamardawa atas dhawuh KPH Notonegoro ini dinilai dapat menjadi pijakan awal dinamika genre tari klasik gaya Yogyakarta. Selama ini, tari klasik terkungkung dalam ragam bedhaya dan srimpi untuk tari putri serta beksan sekawanan untuk tari putra. Inovasi semacam ini dimaksudkan untuk memberi keleluasan pencitraan sehingga dapat memuat adegan upacara tertentu, adegan perang, adegan menang atau kalah perang, dan lain sebagainya. Selain itu, paraga tari bedhaya cukup banyak sehingga cerita dapat tersalurkan dengan lebih mudah.
Ragam Gerak
Beksan Dasakusuma dibawakan melalui ragam gerak tari di antaranya, ngundhuh sekar, lampah sekar, gudhawa asta minggah, dhudhuk wuluh, pendapan ukel tawing, kipat asta usap pasuryan, mahesa menggah, mayuk jinjit, ongkek, tayungan, gidrah, ulap-ulap, pudhak mekar, dan pendapan gajah ngoling. Ragam-ragam gerak tersebut merupakan transformasi dari ragam gerak tari putri dan dilengkapi gerakan baru yaitu njegur. Beksan ini juga memiliki urutan penyajian yang sama dengan bedhaya putri yaitu kapang-kapang maju (masuknya penari ke ruang pementasan) dengan lampah tayungan, tari pokok, dan diakhiri kapang-kapang mundur (keluarnya penari dari ruang pementasan) dengan lampah tayungan. Lampah tayungan sebagai gerakan awal dan akhir merupakan salah satu ciri khas beksan sekawanan. Perpaduan ragam gerak bedhaya putri dan beksan sekawanan menambah karakteristik beksan ini.
Komposisi Iringan Gendhing
Komposisi iringan gendhing Beksan Dasakusuma adalah sebagai berikut: Lagon Panunggul Pelog Nem sebagai gendhing pembuka tarian, Ladrang Gati Wira Kusuma Pelog Nem sebagai gendhing untuk mengiringi majunya penari, Lagon Panunggul Pelog Nem, Bawa Swara Sekar Asmarandana Pelog Nem, Gendhing Hendra Kusuma Pelog Nem sebagai gendhing utama, Ladrang Tidha-Tidha Pelog Nem, Ketawang Lipursih Pelog Nem sebagai gendhing gerakan muryani busana, Lancaran Bandawala Pelog Nem sebagai gendhing saat maju berhadap-hadapan, Mlebet Ayak-Ayak Pelog Nem sebagai gendhing persiapan perang, Dados Srepegan Pelog Nem sebagai gendhing perang secara simbolis, Dados Plajaran Pelog Nem sebagai gendhing upacara wisuda, Mlebet Ayak-Ayak Pelog Nem sebagai gendhing untuk kembali pada tata rakit lajur, Lagon Panunggul Pelog Nem sebagai gendhing saat lampah pocong, Ladrang Gati Gatra Wirama Pelog Nem sebagai gendhing untuk mengiringi mundurnya penari, serta Lagon Panunggul Pelog Nem sebagai penutup.
Ciri lain dalam iringan ini adalah mengalunnya Gendhing Gati baru dengan Laras Pelog Pathet Nem ketika nada seleh jatuh pada nada 6 (nem). Hal tersebut belum pernah dijumpai pada iringan gendhing lain. Selain itu, terdapat Gendhing Ketawang Lipursih Pelog Nem dan Lancaran Bandawala Pelog yang merupakan gendhing ciptaan baru. Sementara itu, dalam iringan Ladrang Tidha-Tidha Pelog Nem terdapat tambahan elemen bunyi musik tiup. Secara keseluruhan, gendhing yang ditampilkan dalam Beksan Dasakusuma ini merupakan kombinasi iringan bedhaya putri dan beksan kakung.
Tata Busana
Para paraga dalam Beksan Dasakusuma menggunakan busana gladhen model dederan yang biasa digunakan saat pergelaran Uyon-Uyon Hadiluhung. Para paraga mengenakan nyamping wiron engkol bermotif parang seling gandhasuli, sondher gendhala giri, lonthong jumputan tritik jambon, kamus timang, iket biru sidangan pethak, stagen, dan dilengkapi keris serta tameng.
Beksan Dasakusuma ditampilkan perdana untuk memperingati Wiyosan Dalem (hari kelahiran) Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 pada Senin, 6 Juni 2022 dalam acara Uyon-Uyon Hadiluhung Selasa Wage. Tarian ini dinilai memiliki peran strategis sebagai rujukan tari klasik gaya Yogyakarta format bedhayan sekawanan. Perpaduannya dengan bedhaya putri memunculkan harmonisasi estetika yang apik tanpa menghilangkan makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
Daftar Pustaka :
Serat Kandha: “Kalangenan Dalem Beksan Lawung”, Yasan Sri Sultan Hamengku Buwono I, Koleksi British Library
Wawancara dengan RW Rogomurti pada 9 Mei 2022
Wawancara dengan MW Susilomadyo 19 Mei 2022
Wawancara dengan RW Sasmintoprobo 20 Mei 2022
Wawancara dengan ML Nalaprasetyo 20 Mei 2022
Wawancara dengan RJ Jalupronomatoyo 22 Mei 2022