Tari Golek Menak
- 09-10-2018
Beksan (tari) Golek Menak adalah sebuah genre drama tari ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988). Gagasan penciptaan tari ini dicetuskan Sultan setelah menyaksikan pertunjukan Wayang Golek Menak yang dipentaskan oleh seorang dalang dari Kedu pada tahun 1941. Apabila dramatari Wayang Wong menceritakan kisah Ramayana dan Mahabharata, dramatari Golek Menak menceritakan kisah-kisah yang diambil dari Serat Menak.
Serat Menak bersumber dari Hikayat Amir Hamzah yang dibawa oleh pedagang Melayu dan disebarluaskan di wilayah Nusantara. Nama-nama tokoh yang berasal dari belahan dunia lain tersebut kemudian di adaptasi ke dalam bahasa Jawa, seperti nama Amir Hamzah berubah menjadi Amir Ambyah. Secara garis besar Serat Menak memuat kisah munculnya agama Islam melalui tokoh Amir Ambyah atau Wong Agung Jayengrana, seorang putra Adipati asal Mekkah.
Mewujudkan Gerakan Wayang Golek Kayu ke Dalam Gerak Tari
Untuk mewujudkan gagasannya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menunjuk KRT Purbaningrat dan para penari terbaik keraton untuk mentransformasikan gerak wayang golek kayu, atau wayang tengul, ke dalam bentuk gerak tarian. Sultan juga mengundang Ki Widiprayitno, seorang dalang dari Sentolo, Kulonprogo, untuk memainkan wayang golek di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX sempat mengawasi langsung proses awal dari penciptaan Beksan Golek Menak. Saat itu tercipta gerakan untuk tiga tipe karakter, yaitu karakter menak putri untuk tokoh Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaheli, menak gagah untuk Prabu Dirgamaruta dan menak alus untuk Raden Maktal. Gerakan tarinya menitikberatkan pada gerakan lambung, gerakan kaki yang diperingan, serta gerakan pacak gulu pada leher. Gerakan-gerakan tersebut adalah usaha untuk merepresentasikan gerakan wayang golek pada manusia.
Hasil eksperimen ini kemudian dipentaskan di Tratag Bangsal Kencana pada upacara Tingalan Dalem atau ulang tahun Sultan pada tahun 1943. Pentas tersebut mengambil cerita peperangan antara tokoh Dewi Sudarawerti melawan Dewi Sirtupelaheli dan Raden Maktal melawan Prabu Dirgamaruta. Namun masih terlalu dini menyebut tari yang dibawakan saat pementasan itu sebagai Beksan Golek Menak.
Selepas Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX semakin disibukkan dengan urusan-urusan negara. Proses penciptaan Beksan Golek Menak yang awalnya diawasi langsung oleh Sultan menjadi terbengkalai.
Pada tahun 1950, Sultan memindahkan kegiatan seni pertunjukan tari keluar tembok keraton. Bebadan Hamong Beksa didirikan di Dalem Purwodiningratan, lembaga ini masih di bawah koordinasi Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa. Dengan keberadaan Bebadan Hamong Beksa, Beksan Golek Menak mulai dikembangkan kembali.
Unsur Pencak Silat pada Tari Gaya Yogyakarta
Pada akhir Desember 1987, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama dengan Yayasan Guntur Madu menginisiasi Sarasehan Tari Golek Menak Gaya Yogyakarta yang digelar di Anjungan Mataram, Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Dalam sarasehan, Sultan mengarahkan agar Beksan Golek Menak memasukkan ragam dan gerak pencak kembang (pencak silat) dari Sumatera Barat pada adegan perang. Sultan juga melihat perlu ditentukannya prinsip-prinsip Beksan Golek Menak yang bersumber pada tari klasik gagrak (gaya) Yogyakarta. Dalam kesempatan yang sama ini pula, diadakan peragaan bela diri pencak kembang dari Sumatera Barat dan peragaan Wayang Golek Menak oleh dalang Sukarno, putra dari dalang Ki Widiprayitno.
Selain sarasehan, diadakan juga peragaan Beksan Golek Menak yang telah disusun sampai saat itu. Pada akhir sarasehan, Sultan memberi waktu satu tahun untuk penyusunan iringan, tata pakaian dan rias, pocapan (dialog).
Penyempurnaan Beksan Golek Menak
Pada bulan September 1988, Sultan Hamengku Buwono IX kembali menginisiasi sebuah pementasan Beksan Golek Menak yang mengakomodasi enam lembaga tari di Yogyakarta. Keenam lembaga tersebut antara lain: yaitu Siswo Among Beksa, Mardawa Budaya, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo, Surya Kencana, dan Institut Seni Indonesia. Enam lembaga tersebut kemudian bekerja keras untuk menyempurnakan Beksan Golek Menak.
Namun sejarah mencatat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah lebih dahulu wafat sebelum Beksan Golek Menak hasil penyempurnaan tersebut berhasil dipentaskan dalam satu pergelaran Wayang Wong Menak dengan episode Kelaswara Palakrama di Bangsal Kepatihan pada tanggal 17 Maret 1989. Karena itu, hingga kini prinsip-prinsip pementasan Beksan Golek Menak belum mempunyai bentuk baku dan masih terbuka untuk dikembangkan. Boleh dikata bahwa Beksan Golek Menak masih terus mengalami penyempurnaan dan penyesuaian.
Walaupun demikian, hingga saat ini, penokohan, busana, hingga konsep pementasan, tidak jauh berbeda dengan pementasan pada tahun 1980-an. Busana yang digunakan pada tarian Beksan Golek Menak menyesuaikan penokohan wayang golek yang memiliki busana tertutup dan berlengan panjang. Beberapa penokohan juga memiliki aksen busana yang kental, seperti Dewi Adhaninggar, tokoh dari negeri Tartaripura (Mongol) yang menggunakan busana dengan citra putri Cina. Riasan para tokoh pun, baik pria maupun wanita, dibuat hampir sama dengan penokohan wayang golek. Iringan musik tari menggunakan seperangkat gamelan seperti biasanya, namun ditambah dengan irama kendang sunda. Sedang untuk dialog, digunakan bahasa Jawa yang digunakan dalam Keraton Yogyakarta, yaitu bahasa Bagongan.
Menonton pertunjukkan dramatari Beksan Golek Menak seakan menyaksikan semangat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam merayakan kemerdekaan Indonesia yang memiliki beragam budaya. Beliau dengan sengaja mendorong penciptaan sebuah genre baru ke dalam tari gaya Yogyakarta dengan memasukkan unsur gerak dan irama dari bagian Nusantara yang lain. Karena baik kesenian Yogyakarta maupun budaya Nusantara lainnya telah memiliki awal baru dalam masa kekuasaan beliau, bergabung menjadi satu di bawah payung Indonesia.