Batik Gaya Yogyakarta
- 18-09-2018
Batik merupakan karya seni yang tumbuh sebagai manifestasi dari tradisi dan kekayaan budaya di daerah tempatnya berkembang. Setiap batik mampu merefleksikan nilai dan karakteristik yang dianut wilayah tersebut. Hal ini yang kemudian mendasari lahirnya kekhasan corak yang dimiliki tiap – tiap wilayah tempat berkembang batik, seperti Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Cirebon, Indramayu, Garut, Madura, Lasem, Sukoharjo, dan daerah sentra batik lainnya.
Yogyakarta, sebagai salah satu wilayah tempat berkembangnya batik, tentu saja juga memiliki ciri khas batiknya sendiri yang muncul karena nilai dan kearifan budaya yang dianut.
Lahirnya batik gaya Yogyakarta dimulai dari peristiwa politik Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua. Setelah pembagian wilayah, seluruh batik Kerajaan Mataram menjadi milik Kesultanan Yogyakarta. Sejak saat itu warisan batik gaya Kerajaan Mataram dipertahankan dan menjadi acuan serta standar bagi batik gaya Yogyakarta. Hingga sekarang, tidak terdapat perubahan kekhasan warna pada batik klasik Yogyakarta. Motifnya sendiri memang mengalami pengembangan namun masih tetap mengacu pada motif pokok atau dasarnya.
Ciri Khas Batik Gaya Yogyakarta
Batik gaya Yogyakarta memiliki warna yang khas. Warna dasaran atau latar batik gaya Yogyakarta adalah warna putih atau hitam (biru kehitaman). Untuk pewarnaannya didominasi oleh warna cokelat – soga, putih bersih - pethak, biru tua - wedel, serta hitam – cenderung biru pekat kehitaman.
Jika diamati, warna batik gaya Yogyakarta cenderung mengarah ke warna-warna tanah. Pemilihan warna batik ini memang tidak lepas dari pengaruh geografis dan kondisi alam dari wilayah Yogyakarta yang kehidupan masyarakatnya dulu selalu berhubungan dengan tanah dan pertanian.
Begitu pula dengan bahan pewarnanya, dipilih karena ketersedian bahan baku yang ada di lingkungan sekitar. Warna biru tua didapat dari ranting dan daun tanaman indigo yang dicampur dengan gula aren, tebu, tape, dan tuak. Untuk warna cokelat diperoleh dari ekstrak campuran beberapa jenis kayu dan kulit kayu, seperti kayu tegeran, kulit kayu jambal, dan kulit kayu tingi.
Bukan hanya itu saja, warna-warna dari batik gaya Yogyakarta juga memiliki makna simbolis. Warna cokelat dipilih sebagai simbol dari warna tanah lempung yang subur, diharapkan dapat membangkitkan rasa kebahagiaan, kerendahan hati, kesederhanaan dan sifat “membumi”. Warna biru dipercaya mampu memberikan rasa ketenangan, kepercayaan, kelembutan pekerti, keikhlasan, dan kesetiaan. Warna putih melambangkan sinar kehidupan, kesucian, ketenteraman hati dan keberanian, dan sifat pemaaf pemakainya. Untuk warna hitam atau gelap melambangkan kekuatan, kekekalan, kemewahan, kemisteriusan, dan keanggunan.
Berdasarkan motif utama, batik gaya Yogyakarta dibagi menjadi dua, yaitu geometris dan non geometris. Masing-masing motif utama ini masih memiliki turunan ragam mulai dari puluhan hingga ratusan jenis.
Motif geometris pada batik gaya Yogyakarta adalah motif ceplok, berwujud pola dari tatanan simetris dalam bentuk lingkaran, kotak, bintang, dan garis-garis miring. Selain itu motif parang, polanya merupakan jalinan menyerupai huruf S dengan kemiringan diagonal 45 derajat. Juga motif lereng yang memiliki pola sama dengan motif parang namun tidak memiliki ornamen pemisah (mlinjon).
Untuk non geometris, yang termasuk di dalamnya adalah motif semen yang berasal dari kata “semi”, yang berarti tumbuh dan berkembang. Pola motif semen biasanya mengandung gambar meru ( tanah, bumi, gunung) beserta flora dan fauna yang hidup. Adapula motif lung-lungan, bentuk polanya berupa sulur-sulur dari pohon yang merambat. Kemudian motif boketan, yang menampilkan wujud pola satu pohon, mulai dari batang, daun, ranting, bunga dan hewan-hewan yang ada.
Batik gaya Yogyakarta, sebagai penerus tradisi budaya klasik, banyak mengadopsi simbol kebudayaan Hindu pada motifnya. Simbol dan konsep budaya Hindu paling nampak di motif semen. Dalam motifnya tertuang gambar gurda – burung garuda yang melambangkan matahari, lidah api yang melambangkan Dewa Api yang sakti, dan juga gambar tentang konsep dunia bawah – tengah – atas, serta mandala.
Selain hal yang telah disebutkan di atas, kekhasan batik Yogyakarta bisa dilihat dari seret-nya, bagian putih pada pinggir kain batik. Seret batik gaya Yogyakarta dipertahankan agar tetap berwarna putih terang. Untuk itu, dalam proses pembuatanya sangat diusahakan agar lilin (malam) tidak pecah sehingga pewarna lain tidak dapat masuk.
Batik Larangan
Satu hal yang juga tidak bisa lepas dari kekhasan batik di Yogyakarta adalah adanya penetapan batik larangan (awisan). Berdasarkan aturan ini beberapa motif batik Yogyakarta hanya boleh dikenakan oleh Sultan dan keluarganya.
Setiap Sultan yang bertahta memiliki hak untuk membuat aturan dan larangan terkait hal ini. Penetapan batik larangan sendiri sudah dimulai sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana I. Penetapan terakhir dibuat oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VIII pada 31 Mei 1927 yang tertuang dalam aturan yang berjudul “Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Keprabon Ing Nagari Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat”.
Dalam Pranatan Dalem ini motif-motif yang termasuk larangan antara lain, Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Rusak Klitik, Semen Gede Swat Gurda, Semen Gede Swat Lar, Udan Liris, Rujak Sente, dan Parang-parangan. Di luar aturan baku tersebut, yang juga termasuk motif larangan adalah Sembagen Huk, sebagai wujud rasa hormat pada Sultan Agung Hanyakrakusuma yang telah menciptakan motif tersebut.
Semenjak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di era pasca kemerdekaan, aturan mengenai batik larangan menjadi lebih luwes dan fleksibel. Aturan batik larangan ini diberlakukan dalam lingkungan keraton saja, tidak pada masyarakat umum di luar keraton.