Jamasan Pusaka

Jamasan Pusaka, atau disebut juga Siraman Pusaka, merupakan upacara rutin yang dilaksanakan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kata “siraman” maupun “jamasan” berasal dari bahasa Jawa, yang berarti memandikan atau membersihkan. Upacara ini diselenggarakan dalam rangka membersihkan benda-benda pusaka milik Keraton Yogyakarta.
 
 
Keraton Yogyakarta memiliki berbagai macam benda pusaka. Mulai dari tosan aji (senjata), kereta, bendera, perlengkapan berkuda, gamelan, vegetasi, serat (manuskrip), hingga benda-benda upacara maupun kelengkapan ruang tahta. Benda-benda ini dianggap sebagai pusaka berdasarkan asal usul atau perannya dalam suatu peristiwa bersejarah.

Ritual Jamasan

 

Jamasan Pusaka, atau prosesi pembersihan pusaka-pusaka keraton, dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon pada bulan Sura (Muharram), bulan pertama dari kalender Jawa. Apabila pada bulan Sura tahun itu tidak terdapat hari Selasa Kliwon, maka pelaksanaannya diganti pada hari Jumat Kliwon. Selasa Kliwon dianggap hari yang baik untuk pelaksanaan Jamasan Pusaka, karena pada Selasa Kliwon merupakan hari turunnya wahyu keraton. Sedangkan Jumat Kliwon dianggap sebagai hari baik bagi umat Islam. Anggapan ini ada sejak Sultan Agung menciptakan kalender Jawa yang merupakan penyatuan antara kalender Saka dan kalender Islam.

Jamasan Pusaka merupakan suatu upacara yang bersifat sakral. Persiapan yang dilakukan tidak hanya persiapan fisik semata, namun juga persiapan rohani. Sebelum bertugas, para Abdi Dalem akan berpuasa dan mandi terlebih dahulu. Ini dilakukan dalam rangka menyucikan diri. Para Abdi Dalem juga harus menjaga sikap, tutur kata dan perbuatan selama upacara Jamasan Pusaka.

Seluruh rangkaian Jamasan Pusaka diawali dengan Sugengan Ageng. Pada upacara ini doa-doa dipanjatkan agar Jamasan Pusaka dapat berjalan baik dan lancar. Sugengan Ageng dilaksanakan satu hari sebelum Jamasan Pusaka dan bertempat di Gedhong Prabayeksa. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan tirakatan yang diselenggarakan di Masjid Panepen.

Berhubungan dengan perbedaan wujud maupun tingkat kekeramatan, maka terdapat perbedaan pada ubarampe maupun proses pembersihan masing-masing pusaka. Waktu pelaksanaannya pun berbeda, dibagi menjadi dua hari.

Pusaka-Pusaka yang Dijamas

Proses Jamasan Pusaka di Keraton Yogyakarta diawali dengan jamasan pada pusaka Kanjeng Kiai Ageng Plered. Setelah itu baru dilaksanakan jamasan pada pusaka-pusaka lainnya.

Proses jamasan pada pusaka-pusaka berwujud tosan aji tidak jauh berbeda dengan proses pembersihan tosan aji pada umumnya. Pusaka dibersihkan dengan cairan jeruk nipis agar minyak dan kotoran-kotoran yang menempel pada pusaka selama satu tahun lalu dapat larut. Setelah itu pusaka disiram dengan air hingga bersih. Saat pusaka telah kering, maka permukaan pusaka diberi warangan dengan cara dioleskan berkali-kali. Warangan yang terbuat dari arsenik bertujuan untuk melindungi pusaka dari karat. Sebagai sentuhan terakhir, pusaka diolesi minyak kelapa yang dicampur dengan minyak cendana.

Selain pusaka berwujud tosan ajipusaka berwujud kereta juga dijamas. Setiap tahun hanya dua kereta pusaka yang akan mengikuti proses Jamasan Pusaka. Berbeda dengan Jamasan Pusaka pada tosan aji yang tertutup, prosesi ini terbuka bagi masyarakat umum yang ingin menonton,. Kereta pusaka yang rutin mengikuti Jamasan adalah Kanjeng Nyai Jimat, kereta tertua yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta. Sedangkan untuk kereta lainnya dijamas bergantian setiap tahun.

Kereta dibersihkan dengan cara diguyur menggunakan air yang dicampur dengan irisan jeruk nipis dan air bunga, kemudian dilap dengan potongan kain mori. Bagian-bagian yang terbuat dari kaca digosok dengan spiritus, sedang yang terbuat dari kulit digosok dengan minyak kelapa. Proses ini dilaksanakan oleh para Abdi Dalem bersama-sama sehingga tidak memakan banyak waktu. Selama dan setelah proses jamasan kereta, sejumlah pengunjung berusaha mendapatkan sisa air atau kain lap bekas. Mereka percaya bahwa benda-benda tersebut dapat membawa berkah.

Proses Jamasan Kereta mirip dengan proses jamasan terhadap pusaka berwujud tandu. Jamasan tidak dilakukan dengan pengguyuran air, namun hanya disikat dan dilap dengan kain basah. Proses ini dilakukan di halaman Bangsal Srimanganti.

Jamasan Pusaka untuk benda-benda pusaka lain dilakukan menyesuaikan dengan jenis pusaka tersebut. Pusaka berwujud peralatan berkuda, dibersihkan dengan sikat dan digosok dengan jeruk nipis. Jamasan untuk pusaka yang berbentuk manuskrip dilaksanakan dengan membersihkan setiap halamannya menggunakan sikat halus. Pusaka berwujud pohon beringin yang terdapat di tengah Alun-Alun Utara, Kiai Dewadaru dan Kiai Jayadaru dijamas dengan pemangkasan. Setelah pemangkasan kedua pohon ini selesai, pemangkasan dilanjutkan terhadap pohon-pohon beringin lainnya yang mengelilingi Alun-Alun Utara.

Setelah semua pusaka dibersihkan, maka pusaka dikembalikan ke tempat penyimpanan masing-masing. Setelah itu dilaksanakan upacara Sugengan sebagai penutup rangkaian jamasan pusaka. Upacara yang dilaksanakan di Bangsal Prabayeksa dan dihadiri oleh kerabat keraton ini merupakan wujud rasa syukur atas terselenggaranya Jamasan Pusaka. Setelah Sugengan Syukuran selesai, maka berakhirlah seluruh rangkaian Upacara Jamasan Pusaka.

Tujuan Jamasan

 

Jamasan Pusaka hingga saat ini terus dipertahankan dan dilaksanakan setiap tahun oleh Keraton Yogyakarta. Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan merawat pusaka-pusaka yang ada. Dengan dibersihkan secara teratur tiap tahun, maka segala tanda kerusakan dapat diketahui sejak dini sehingga dapat ditangani segera. Upacara Jamasan memiliki setidaknya dua aspek, teknis dan spiritual. Secara teknis bertujuan untuk merawat benda-benda warisan sejarah dan budaya, sedang secara spiritual merupakan sikap manusia Jawa dalam menyambut datangnya tahun baru Jawa.

 


Daftar Pustaka:
Anonim. 1979. Upacara Adat Karaton Ngayogyakarta Dalam Setahun. Yogyakarta. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Suyami. 2008. Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta. Yogyakarta. Kepel Press.
Djoko Dwiyanto, dkk. 2009. Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DIY